Laporan Reporter Tribun Jogja, Ekasanti Anugraheni
TRIBUNNEWS.COM, YOGYAKARTA - Merapi kembali mengembuskan asap sulfatara hingga setinggi 1,5 kilometer pada Senin (10/3/2014) pukul 07.08 WIB. Akibatnya, wilayah berjarak tujuh kilometer di barat Merapi terjadi hujan abu tipis sesaat setelah embusan.
Beberapa wilayah terpapar abu setebal satu milimeter antara lain Deles (Klaten), Umbulharjo, Kepuharjo, Sidorejo dan Balerante.
Kepala Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kebencanaan Geologi (BPPTKG) Yogyakarta Subandriyo menjelaskan, embusan yang terjadi di Merapi dipicu gempa tektonik di 115 kilometer tenggara Malang berskala 5,4 Skala Ricther pada Minggu (9/3/2014) malam. Meskipun berjarak cukup lama, namun gempa Malang inilah yang memicu adanya goncangan dalam perut Merapi hingga menyebabkan pelepasan gas Merapi.
Akumulasi gas bertekanan tinggi itulah yang menyebabkan adanya embusan gas. Embusan pertama terjadi pukul 06.54 WIB, kemudian terulang kembali hingga empat kali embusan. Puncaknya, terjadi pukul 07.08 WIB dimana terbentuk kolom asap berwarna coklat pekat hingga 1,5 kilometer.
"Kolom asap ini berwarna gelap karena terdiri dari material gas dan abu saja. Ini berbeda dengan letusan freatik lalu yang mengandung uap air sehingga asapnya berwarna putih," papar Subandriyo dijumpai di kantornya, Senin (10/3/2014).
Lebih lanjut Subandriyo menjelaskan, ada fenomena unik yang terjadi pada embusan Senin (10/3/2014) pagi. Bersamaan dengan kejadian puncak embusan, pada saat yang sama, perut Merapi juga bergoncang. Seismograf BPPTKG mencatatkan adanya gempa vulkanik dalam dengan kedalaman dua kilometer dari puncak dengan amplitudo 200 mm. Dengan besaran amplitudo itu, Subandriyo memperkirakan besaran gempa vulkanik dalam sebesar 2 Skala Richter.
"Ini baru pertama kali adanya gempa vulkanik dalam bersamaan dengan puncak embusan. Ini fenomena baru," ucap Subandriyo.
BPPTKG masih mempelajari fenomena gempa vulkanik dalam itu. Namun, diperkirakan kejadian gempa itu menandakan adanya tekanan yang tinggi dalam perut Merapi. Itulah kenapa, embusannya juga tinggi. Namun, hal itu tidak sampai memperlebar retakan di kubah Merapi yang terbentuk akibat letusan freatik yang lalu. (*)