TRIBUNNEWS.COM.JAKARTA- Setiap tahun 151 ribu anak Indonesiameninggal akibat diare. Fakta menunjukkan kebiasaan buang air masih dilakukan 70 juta orang jadi penyebabnya. Plan Indonesia, salah satu lembaga yang peduli sanitasi berhasil menurunkan kasus diare secara signifikan di Kabupaten Timur Tengah Selatan dan Timur Tengah Utara Nusa Tenggara Timur. Bahkan mendapatkan penghargaan MDG's Award 2013.
Meskipun wilayahnya menjadi salah satu daerah yang menjadi sentra penghasil buah-buahan seperti pisang, sayangnya minat orang luar untuk datang ke salah kampung di Kabupaten Timor Tengah Utara masih enggan. Alhasil, buah-buahan tidak laris terjual karena pendagang membeli dari daerah lainnya.
Itu pengalaman sebelum tahun 2010. Tapi jangan tanya sekarang, kesuksesan program Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (STBM), khususnya budaya buang air besar sembarangan berhasil merubah keadaan.
"Terimakasih pak kampung saya sekarang sudah ramai. Orang mau berdatangan ke kampung karena sudah banyak yang mau datang dan membeli langsung buah-buahan," ungkap warga kampung itu seperti ditirukan Manajer Program Air Bersih dan Sanitasi Plan Indonesia Eka Setyawan kepada Tribunnews, Selasa (6/5/2014).
Orang mau berdatangan ke kebun itu karena sudah tidak bau. Sebelum tersentuh STMB, masyarakat setempat masih membuang air besar di sana.Kesuksesan program STBM juga membuat warga setempat bisa \menabung. Sebelum program masuk mereka membelanjakan pendapatannya ke puskesmas untuk beli obat karena sakit. "Nah sekarang enggak lagi, maka uangnya bisa untuk beli buku dan seragam anak," kata Eka.
Kesuksesan STMB yang dilakukan Plan Indonesiatidak bisa dilakukan dalam sekejab. Perlu tiga tahun merubah keadaan. Data terbaru Dinas Kesehatan TTS mengalami penurunan yakni 13.781 kasus (2010) menjadi 4.715 kasus 2013. Sedangkan di TTU dari 2.111 kasus menjadi 1.752 kasus.
Jangankan di NTT di wilayah Kabupaten Cirebon Jawa Barat membangun kesadaran pentingnya sanitasi khususnya jangan BAB sembarangan bukan perkara mudah jika sudah menyangkut budaya. Perilaku 'singli' dan 'singwah' yang dilakukan turun temurun. Singli atau ngising (BAB) di kali (sungai) dan singwah atau ngising di sawah (BAB di sawah).
"Sebelumnya, 60 persen warga BAB di kali dan di sawah. Jika musim hujan di kali, kalau musim kemarau di sawah," kata Sri Budiarti, petugas sanitasi Desa Jemaras Lor Cirebon.
Pengiat sanitasi atau fasilitator dalam program STBM tidak kehilangan akal. Penerapan budaya malu mampu mendorong masyarakat beralih ke jamban, tidak lagi di sungai ataupun sawah. Salah satu yang disampaikan fasilitator adalah tidak seorang pun orang mau diintip ketika sedang BAB.
Eka mengatakan, merubah perilaku yang telah membudaya bukan perkara yang mudah. Saat ini BAB sembarangan masih dianggap tidak masalah karena tidak memberikan efek yang buruk. Nah, kuncinya melakukan pemicuan.
Lalu bagaimana mengajak masyarakat untuk berubah? "KIta tidak memberikan harapan yang muluk-muluk. Siapa yang mau ikut program dipersilakan, jika tidak mau ikut ya tidak apa-apa. Pemicuan diawali dengan mengajak membuat perhitungan tinja di kampung.
"Kita memberikan ilustrasi, jika sehari setengah kilogram tinja jika dikalikan jumlah penduduk, lalu hasilnya disetarakan gajah," katanya.
Cara lainnya adalah tinja dimasukkan ke gelas sejenak lalu yang mengibaratkan air sungai yang banyak tinja. Lalu warga ditantang minum ada yang berani minum. "Faktanya ternyata ada yang masih mau terutama preman-preman di sana. Tentunya kita sudah siap caranya," katanya.
Karena umumnya mempunyai istri dan anak perempuan. Fasilitator menanyakan apa bapak punya istri atau anak? Jika iya, rela enggak, "Kalau pantatnya dilihat pemuda-pemuda, mereka ternyata marah. saya bacok, saya bunuh kata mereka. Mereka baru tersadar pentingnya jamban di rumah.