TRIBUNNEWS.COM,SURABAYA - Biaya perkuliahan di Fakultas Kedokteran sudah dikenal mahal sejak dulu.
Sejak saya masih kuliah di FK Trisakti Jakarta pada 1974, kampus kedokteran sudah terkenal mahal. Dari dulu memang begitu (mahal).
Apalagi sekarang kampus mulai berubah menjadi lembaga yang harus mencari untung untuk bertahan.
Kampus sudah berubah menjadi Badan Layanan Umum (BLU).
Perlu ada kebijakan tersendiri agar fakulitas kedokteran ini lebih mampu menjangkau semua lapisan masyarakat.
Sebenarnya, biaya untuk kuliah menjadi dokter tidak perlu semahal ini.
Label mahal yang disematkan dari dulu sampai sekarang, menunjukkan orientasi pendidikan kita.
Terus terang, dalam kondisi sekarang, sulit sekali anak tukang becak dan karyawan bisa berkuliah di fakultas kedokteran.
Bukan rahasia umum, ada saja orang tua yang menganggap ongkos yang dia keluarkan untuk anaknya berkuliah sebagai modal.
Artinya, kalau sudah modal, harus segera kembali dan bahkan untung. Hitung-hitungannya target pasien dan bisnis.
Ini tentu salah. Bukan seperti itu semangat kita berpendidikan.
Berbeda di negara-negara Eropa. Pemerintah di sana mendorong anak-anak muda untuk bersekolah dan berkuliah.
Mereka merangsang dengan memberikan layanan pendidikan murah dan gratis.
Apalagi, profesi dokter mereka butuhkan untuk menjamin kualitas kesehatan negara. Pemerintah rasanya perlu mencontoh mereka.
Saya sendiri tidak sepenuhnya menyalahkan kampus yang mematok tarif tinggi.
Kampus kedokteran memang memiliki unit cost tidak murah. Misalnya, untuk laboratorium, praktikum, peralatan medis, sampai sumber daya pengajarnya.
Jadi, di sinilah peran pemerintah mengisi ruang kosong dengan menyubsidi pendidikan agar membantu kampus-kampus melahirkan tenaga medis yang berkualitas dan berintegritas. Saat ini, pemerintah belum maksimal dalam mewujudkan kondisi itu. (idl)