Dari diskusi-diskusi yang dia lakukan bersama rekan-rekannya sesama jagal dan pedagang sapi yang tergabung dalam PPSDS (Persatuan Pedagang Sapi dan Daging Segar) Jawa Timur pada 2013, dia menyadari kelangkaan stok sapi terjadi karena adanya praktik pemotongan sapi-sapi betina produktif.
“Waktu itu baru sadar apa yang dimaksud dengan kualat oleh bapak saya. Meski saya sendiri tidak pernah memotong sapi betina, tetapi juga terimbas kualatnya karena sulit mencari sapi. Tetapi yang penting sampai sekarang saya tetap memegang prinsip untuk tidak memotong sapi betina,” papar pria kelahiran Desa Masaran, Kecamatan Tragah, Kabupaten Bangkalan itu.
Sebelum diskusi-diskusi itu berlangsung, Apriyadi juga tak pernah mengetahui adanya peraturan yang melarang pemotongan sapi betina produktif.
Ia mengapresiasi kebijakan pemerintah itu. Namun, ia kecewa dengan pelaksanaan di lapangan.
Sebab, peraturan itu dibiarkan menggelinding begitu saja. Tidak ada pengawasan. Juga tidak ada tenaga lapangan yang ditugaskan untuk memandu para jagal dan para pengelola RPH, guna mengenali sapi-sapi betina yang masih produktif dan yang sudah tidak produktif.
“Seharusnya ada petugas dari pemerintah, yang mengawasi dan memastikan sapi bahwa sapi betina itu masuk kategori produktif. Jadi, kalau menurut mereka, sapi betina itu masih produktif, mereka bisa hentikan sebelum dipotong,” ujarnya.
Memang dalam undang-undang, dimuat juga sanksi bagi RPH maupun orang yang memotong sapi betina produktif.
“Tapi apa artinya sanksi, kalau di lapangan tidak ada petugas pelaksananya. Jadi ya seperti sekarang ini. Hanya kearifan pribadi-pribadi jagal sendiri, yang bisa menghindari (memotong) sapi betina," ungkapnya. (ben)