Di kiosnya, Hadi menjual beberapa barang, mulai dari rokok, air mineral, tisu, hingga cemilan ringan. Keramaian pengunjung Sarkem saat akhir pekan atau musim liburan, turut meningkatkan pemasukannya.
Di antara sejumlah barang dagangannya, ia berujar yang paling laris adalah rokok dan air mineral. Akhir pekan, Hadi bisa meraup untung Rp 300 ribu sampai Rp 500 ribu. Sementara hari biasa ia hanya bisa menjual lima sampai tujuh bungkus rokok.
"Kalau Jumat malam, malam Minggu atau pas liburan bisa banyak yang beli, terutama yang beli rokok. Ya kira-kira keuntungannya bisa naik tiga atau empat kali lipat lah," imbuhnya.
Meski tinggal di kawasan prostitusi sejauh ini dirinya merasa tak pernah mendapat masalah atau kendala. Menurutnya, semua tergantung pada masing-masing individu dan ia pun tetap berusaha menjalani hidup seperti biasa.
"Istri saya juga enggak ada masalah, kan kami juga tinggal dan hidup seperti biasa, kalau soal lingkungan (prostitusi) yang terjadi di sini, kami juga sudah biasa karena sudah lama tinggal di sini," tambahnya.
Penuturan serupa disampaikan Sulis, yang merupakan salah satu warga asli Gang 3. Bahkan, rumahnya berada persis di tengah-tengah rumah yang kini disulap menjadi tempat karaoke dan menjadi tempat transaksi prostitusi.
"Lha saya sudah tinggal di sini sudah hampir 50 tahun, sejak saya kecil sampai sekarang, mau pindah ke mana lagi, rumah saya cuma ini," ujar pria 60 tahun itu.
Sulis juga membenarkan beberapa warga asli wilayah setempat sebagian memilih pindah ke tempat lain dan menyewakan rumahnya untuk disewa mucikari dan PSK kawasan itu. Meski harga sewa di tempat itu terbilang mahal, namun ia mengaku tidak tergiur dengan keuntungan nominal rupiah itu.
"Enggak lah, saya masih merasa nyaman saja tinggal di sini, lagipula saya sudah tua mau pindah ke mana lagi, toh masih ada juga kok warga asli yang tinggal di sini," katanya.