Menurut Moestadjab, dirinya sudah ikut berjuang dalam revolusi fisik sejak usia 12 tahun.
Lebih dari tujuh tahun dia ikut perang gerilya di Bojonegoro dan Surabaya. Mengusir penjajah Belanda dan Jepang serta NICA Belanda.
“Sebagai prajurit saya bertugas sebagai penggempur jalan. Membuka jalan bagi prajurit lain,” katanya.
Setelah Indonesia merdeka pada 17 Agustus 1945, pangkatnya tetap prajurit. Moestadjab bersikukuh tak mau pangkatnya dinaikkan. Baginya, berjuang harus tanpa pamrih dan lillahi ta’ala.
Sehingga setelah bangsa ini merdeka dan dia sudah pensiun dari Angkatan Darat, Moestadjab mengaku tidak mau mengambil tunjangan uang pensiun sampai usia kemerdekaan Republik ini mencapai usia 69 tahun.
“Saya bangga dapat lulus mengabdi pada negara ini tanpa pamrih,” tegas bapak enam anak ini.
Namun, setelah Presiden memberikan penghargaan Bintang Gerilya dan mengakui perjuangan tanpa pamrihnya, Moestadjab akan menerima pemberian tunjangan pensiun sebagai konsekuesi dari penghargaan yang diterimanya.
Kini setelah 69 tahun Bangsa ini merdeka, lelaki yang tinggal di Jalan Karangrejo sawah nomor 35 Surabaya ini, berharap pemimpin bangsa ini dan generasi penerus tidak lupa dengan sejarah perjuangan bangsa, khususnya para pahlawan dan pejuang yang sudah mengorbankan jiwa raga.
“Jangan ada yang mau menjadi antek-antek asing yang dapat memecah belah bangsa,” tandasnya, mengingatkan.
Selain itu, rakyat Indonesia, khususnya generasi muda harus tetap setia kepada Pancasila dan UUD secara murni dan konsekuen serta ikhlas untuk membangun bangsa dan negara.
“Jangan sampai ada korupsi-korupsi lagi. Saya sangat tidak senang, karena korupsi telah menjadikan negara ini lemah,” imbuh Moestadjab.