Tuan rumah di penampungan itu, menurut AGS, mengaku sebagai perusahaan penyalur tenaga kerja. Sehari di tempat penampungan, AGS kembali minta pulang, namun lagi-lagi ditolak. “Katanya gak usah pulang dulu, nanti kalau sudah punya uang baru pulang,” jelasnya.
Pun demikian janji akan diteleponkan ke orangtuanya jika sudah sampai di Bali ternyata juga hanya bohong belaka. Hari kedua di penampungan aksi kekerasan mulai dirasakan oleh para pekerja yang mencoba untuk melawan tuan rumah.
“Saya minta pulang, tapi malah orang PT (perusahan penyalur) ini marah. Saya dilempar pakai kunci, terus pakai sandal tapi tidak kena, akhirnya saya dilempar pakai kursi plastik dan kena,” ungkapnya. Belum cukup sampai di situ, AGS kemudian ditarik ke halaman rumah dan disuruh hormat menghadap matahari.
Perlakuan serupai juga diterima oleh rekan-rekan AGS. Bahkan BRT, rekan AGS, yang tidak diberi makan hingga dua hari.
Orang dari PT akan marah jika ada anak yang nangis, atau minta pulang atau mencoba kabur. “Kita pernah seharian hanya minum air langsung dari kran karena dihukum setelah mencoba kabur,” terangnya.
AGS akhirnya berhasil mendapatkan majikan yang dicarikan oleh PT itu. Saat menuturkan kisahnya kepada Tribun Bali, AGS sedang berada di sebuah rumah aman (safe house) di Badung setelah sebelumnya kabur dari tempat kerjanya di Denpasar. Sayangnya, AGS lupa tempat penampungan dan alamat persis majikannya itu.
Kasus tersebut sempat dilaporkan ke polisi oleh penampung AGS di safe house, namun karena tempat yang diadukan belum diketahui, maka belum ada langkah konkret dari kepolisian hingga kini.
“Setelah dari penampungan, saya kerja jadi pembantu, tidak boleh keluar rumah. Gajinya juga baru dikasih setelah kerja tiga bulan,” jelasnya.
Selama sembilan bulan di Bali, AGS sudah empat kali pindah kerja. Kerja pertama di kawasan Sesetan Denpasar. Namun di tempat kedua dan ketiga, AGS tidak tahu alamat persis rumah majikannya karena ia sama sekali dilarang ke luar rumah. AGS belum terima gaji di tempat kerja terakhirnya. Sebab, dalam perjanjian kerja, jika keluar sebelum masa kontrak habis, maka gaji tidak diberikan.
Pengungkapan Lemah
Menurut data dari Ikatan Keluarga Besar Flobamora NTT Daerah Bali, selama tahun 2014 ini saja sudah ada 8 korban perdagangan manusia yang laporannya diterima oleh pihaknya.
“Dari NTT, korban terbanyak berasal dari kota Maumere,” kata Lauren, Ketua Rukun Keluarga Besar Maumere (NTT) di Bali.
Lauren menambahkan, banyak kasus serupa yang dialami oleh pekerja di bawah umur dari NTT. Lauren bahkan sudah kerap mendampingi serta mengadvokasi korban-korban serupa saat berhubungan dengan pihak berwenang.
“Kami sudah sering menerima laporan seperti ini, beberapa anak bahkan kita dampingi dan sudah ada juga yang kami pulangkan,” ulasnya.
“Kami menerima informasi masih ada banyak korban perdagangan manusia seperti itu. Sekarang masih kami cari alamatnya,” kata Lauren.