Disebutkan, biasanya para perekrut pekerja beroperasi di kampung-kampung atau pasar di NTT. Yang rawan jadi sasaran adalah para wanita di bawah umur dengan pendidikan rendah (maksimal lulus SD) serta berasal dari keluarga ekonomi lemah.
“Sebanyak 95 persen korban adalah wanita. Perekrut dapat Rp 2,5 juta setiap dapat satu orang,” kata Yulis Diaz.
Dari pengakuan para korban, pada umumnya masalah yang mereka hadapi adalah perlakuan tidak manusiawi dari tempat penampungan dan majikan.
“Dalam lima tahun terakhir ini, jumlah kasusnya semakin meningkat,” kata Yulis Diaz tanpa member data rinci.
Ironisnya, belum banyak kasus terungkap oleh aparat penegak hukum. Yulis Diaz menentang sistem pengupahan yang dipakai oleh penyalur tenaga kerja, yakni digaji sekali yang diberikan pada akhir tahun atau saat pekerja hendak pulang kampung.
“Dari pengakuan para korban kepada kami, malah ada yang tidak digaji. Padahal, mereka bekerja sampai malam, tidak terbatas waktu. Kalau seperti ini kan namanya perbudakan modern,” terang Yulis Diaz, yang mengaku bahwa anggota Flobamora di Bali sebanyak 50-an ribu orang.
Dari sejumlah kasus di mana Flobamora melakukan pendampingan, beberapa di antara korban sudah berhasil dipulangkan. Saat ini pihaknya masih mendampingi secara hukum di persidangan kasus-kasus yang melibatkan tujuh pekerja, yang sebagian besar di bawah umur.(*)