Laporan Wartawan Tribun Jogja, Obed Doni Ardianto
TRIBUNNEWS.COM, JOGJA - Praktik "meloloskan" truk-truk bertonase raksasa terpantau di dua jembatan timbang di DIY meski bulan April lalu Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo sempat 'mengamuk' di jembatan timbang Subah, Batang karena memergoki aksi serupa.
Pakar Pusat Studi Transportasi dan Logistik (Pustral) UGM, Joewono Soemardjito ST MSi memiliki analisis tersendiri sehubungan dengan kian maraknya praktik ini.
Jembatan timbang merupakan instrumen untuk memonitor atau mengawasi angkutan barang. Saat ada hal yang tidak sesuai aturan, misalkan berat barang melebihi tonase, seharusnya dilakukan penindakan.
Selama ini mungkin tindakan yang diambil bagi truk-truk yang barangnya melebihi tonase, berupa penurunan barang. Jika tidak atau lolos, maka di jalan-jalan sudah menjadi wewenang kepolisian menindak truk-truk yang melebihi tonase.
Namun yang terjadi saat ini, tak sedikit kendaraan angkutan berat yang lolos dari jembatan timbang, dan kemudian terungkap malpraktik, seperti yang pernah dipergoki Gubernur Jateng.
Di jalan, juga muncul indikasi transaksi oknum polisi yang melakukan penindakan. Malpraktik juga terjadi dengan cara menghentikan kendaraan angkutan barang tanpa meminta untuk masuk jembatan timbang, namun meminta denda kepada pengemudi.
Jika hal-hal yang tidak sesuai aturan itu dilakukan maka akan ada yang dirugikan, seperti tidak henti-hentinya melakukan perbaikan jalan, akibat kerusakan yang disebabkan truk melebihi tonase.
Dengan denda yang terbilang kecil dan penilangan, tanpa ada penurunan angkutan barang, sementara itu pelanggaran kelebihan tonase yang banyak dilakukan truk, hal itu menandakan tak ada efek jera bagi angkutan barang yang membawa barang melebihi dari berat yang diizinkan.
Denda yang terbilang kecil dan penilangan hanya dilakukan sekali, namun kemudian kendaraan angkutan barang boleh berjalan lagi. Maka pelanggaran itu kemungkinan besar akan diulang lagi. Secara prinsip ekonomi, membawa barang yang banyak dengan alat yang kecil dapat menghemat biaya pengeluaran.
Efek jera dari penindakan angkutan barang yang melebihi tonase atau overload perlu dilakukan. Misalnya, penilangan disertai dengan tidak diizinkannya pengemudi untuk menjalankan truk angkutan selama setahun, jika melakukan pelanggaran.
Denda yang diberikan juga lebih besar dan berlipat ganda, ketika pengemudi truk melakukan kedapatan melakukan kesalahan yang sama. Semakin diulang, kesalahan bertambah kali lipat besarnya.
Denda yang terlalu kecil, terlebih jika sudah ditilang di jembatan timbang lain maka tidak ditilang lagi, tentu akan menghilangkan efek jera.
Alasan membutuhkan tambahan lahan untuk melakukan penurunan karena ruang yang terbatas karena angkutan barang yang melanggar banyak, bukanlah solusi untuk mengatasi persoalan. Namun, tindakan atau kontrol dari hulu yang perlu dilakukan.
Kontrol dari hulu itu berupa pengawasan dari perusahaan yang melakukan pengiriman barang. Seperti halnya angkutan barubara.
Perusahaan batubara memiliki timbangan sendiri, sehingga sebelum mengirimkannya, batubara ditimbang sesuai dengan berat yang diizinkan dimuat dalam angkutan yang digunakan.
Namun di Indonesia, hal tersebut belum dapat dilakukan di hulu. Pasalnya, tidak semua perusahaan memiliki timbangan sendiri.(oda)