News Analysis
Elly Yuliandari
Staf Pengajar Fakultas Psikologi
Universitas Surabaya
TRIBUNNEWS.COM, SURABAYA – Korban bencana, termasuk kebakaran, jelas akan mengalami rasa trauma.
Mereka yang mengalami paling tidak akan mengalami masa trauma itu selama dua minggu.
Trauma dalam hal ini goncangan hebat akibat sebuah kejadian. Setelah itu, dia akan memulihkan diri secara natural.
Namun begitu, dalam beberapa kasus, ada korban yang juga tidak bisa menyembuhkan rasa traumanya.
Korban ini terus dihantui peristiwa traumatik. Seolah-olah baru saja terjadi. Begitu terus. Trauma semacam ini yang sulit sekali disembuhkan secara natural.
Setiap manusia, memiliki kadar penyembuhan natural yang berbeda-beda. Tergantung pada respons orang itu terhadap lingkungan.
Nah, lingkungan juga memiliki peran yang signifikan dalam proses pemulihan trauma.
Lama tidaknya trauma itu berlangsung, tergantung dari korban dan lingkungannya.
Proses recovery bisa lama, bisa juga berjalan singkat. Proses ini bergantung juga pada seberapa besar berharganya sesuatu yang hilang karena bencana kebakaran.
Kehilangan harta benda dan nyawa orang terkasih, jelas memiliki kadar yang berbeda.
Ada orang yang sangat terpukul ketika kehilangan hartanya. Saking terpukulnya sampai mengalami gangguan kejiwaan. Di sisi lain, ada orang yang tidak demikian.
Begitu juga ketika orang itu kehilangan seseorang yang dia sayangi. Ada yang dengan cepat mengikhlaskan, ada pula yang sangat berat.
Semuanya bergantung pada faktor-faktor internal dan eksternal. Internal itu terkait mentalitas orang tersebut dan eksternal itu menunjukkan situasi lingkungan.
Kita harus memahami siklus emosi para korban. Berkomunikasi menyampaikan simpati memang sangat efektif membantu pemulihan.
Namun, kita tetap harus memahami kondisi korban. Jangan sampai, kita terlalu mengumbar kata 'sabar', 'diiklaskan saja' sampai tenang di hari-hari pertama pasca bencana.
Kata-kata itu memang menunjukkan simpati. Namun menurut saya belum saatnya kita mengucapkan itu.
Alangkah baiknya kalau kita lebih memilih pendekatan dengan ikut merasakan kesedihan korban.
Misalkan dengan mengucapkan kalimat ”Kalau saya mengalami apa yang kami alami, saya juga sedih”.
Kalimat itu menurut saya jauh lebih menenangkan sehingga korban bisa merasakan bahwa dia tidak sendiri.
Dia akan merasakan kalau kesedihan yang dia alami itu sangat manusiawi dan setiap orang pasti akan merasakan apa yang dia rasakan. Itu jauh lebih menangkan.
Terkadang, korban ingin memiliki waktu sendiri. Jadi tolong hormati. Perlahan, kita isi kesendirian itu dengan obrolan yang menenangkan.
Setelah beberapa hari, kita bisa mengganti tema obrolan. Ajak korban membicarakan hal-hal yang menyenangkan seperti hobi atau travelling.
Membuat dia tersenyum simpul saja itu sudah usaha yang bagus. Berarti, ada kemajuan dalam kondisi emosi korban.
Setelah dengan kata-kata, ajak korban beraktivitas. Tentu aktivitas itu harus yang menyenangkan. Tidak berlu hura-hura. Yang penting, aktivitas itu bisa mengalihkan pikiran korban.
Perlu diingat, kita tidak bisa menghapus memori korban, terutama dia yang kehilangan orang terkasihnya. Tujuan kita bukan membuat dia melupakan kematian orang tersayang.
Jauh lebih baik kalau kita berhasil membuatnya berdamai dan menerima keadaan. Tetapi jangan terlalu memaksa korban untuk cepat mengalihkan pikirannya.
Semua ada tahapannya. Setiap tahapan disesuaikan dengan kepribadian. Jangan sampai kehadiran kita malah membuat dia tertekan.
Kalau sampai trauma ini memunculkan dampak klinis, maka kita perlu bantuan psikiater.
Psikiater ini akan membantu menstimulasi potensi dalam diri korban untuk merecovery diri secara natural.
Proses pemulihan dari lingkungan dan kepribadian korban memiliki prosentase 90 persen.
Nah 10 persennya inilah yang dimanfaatkan psikiater untuk menstimulasi 90 persen tadi agar korban bisa menjadi lebih terbuka.
Terakhir, kita memang harus melibatkan Iman kita yaitu Tuhan.