Laporan Tribun Kaltim, Rafan A Dwinanto
TRIBUNNEWS.COM, SAMARINDA – Jika tak diantisipasi, nasib Taman Hutan Raya (Tahura) Bukit Soeharto tak akan lebih baik dari Taman Nasional Kutai (TNK) di Kutai Timur. Aksi penguasaan lahan di area konservasi ini dikhawatirkan berpotensi meningkat.
Dosen Fakultas Kehutanan, Universitas Mulawarman, Dr Chandra Dewana Boer mengatakan, terbitnya Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kaltim bakal membuat nasib Tahura kian tak jelas.
“Yang patut diwasdai sekarang adalah aksi pembakaran dipicu spekulan lahan. Kita tahu sekarang ada revisi Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang mengubah status sebagian kawasan Tahura menjadi Area Penggunaan Lain (APL),” kata Chandra.
Persoalannya, kata Chandra, yakni tidak adanya lembaga atau kelompok masyarakat yang mengetahui persis batas wilayah Tahura dengan area yang telah berstatus APL.
“Sementara, di mana batas yang masih masuk Tahura dan mana yang APL sendiri tidak ada yang tahu. Batasnya jelas di atas kertas, tapi batas di lapangan siapa yang tahu. Inilah yang diduga menjadi celah bagi spekulan lahan untuk masuk. Pertama lahan dia bakar dulu, untuk kemudian dikuasai jadi hak milik. Karena itu tadi, batas di mana APL, di mana wilayah konservasi tidak ada yang tahu persis,” jelas Chandra.
Hal ini diperparah dengan tidak adanya semacam Badan Pengelola (BP) yang khusus ditugaskan mengelola Tahura.
“Selama ini yang ada hanya Unmul saja, karena punya hutan pendidikan di Tahura. Tapi tidak ada yang menjaga 24 jam di sana. Sehingga masyarakat bisa bebas, dan sekarang semakin ramai. Pembentukan BP harus disegerakan. Dengan tidak adanya BP, selama ini tanggung jawab terhadap Tahura ada di Dishut Kukar dan Dishut Provinsi,” paparnya.