TRIBUNNEWS.COM, SURABAYA – Gara-gara mengaku sebagai anggota Brimob Polda Jatim dan menjelek-jelekkan calon presiden (Capres) melalui jejaring sosial, Bram Jupon Janua (31), warga Sawotratap, Gedangan, Sidoajo harus mendekam di dalam penjara.
”Klu sampai negara ini dipimpin oleh pecatan Kopasus, tak terpikirkan olehq. Tkut’nya kjahatan akan mrajalela. Ya Allah aq hanya pngen hdup tnang, menangkan jokowi Ya Allah. Krna aq sngat ykin dgn kpemimpinan’nya Jokowi klu beliau bsa mnjdi presiden RI” demikian tulis pria itu dalam status Facebook-nya.
Akun Facebook tersebut dibuat sejak 2009 dengan nama Candra. Kemudian, pada 4 Agustus 2014 lalu, dia mengganti nama akun tersebut menjadi Bripda Candra Tansil. Dia juga memasang foto profilnya dengan gambar seorang anggota Brimob.
Dalam status pekerjaan di akun tersebut, tertulis bahwa dia adalah Anggota Brimob di Kompi 4 Den A Sat Brimobda Polda Jatim.
Perkara bermula setelah seorang anggota Brimob Detasemen Gegana yang berkantor di Jalan Gresik, Surabaya membaca status tersebut. Lalu, Kasat Brimob memerintahkan untuk menelusurinya, dan akhirnya ditemukan.
Lalu, Bram Jupon Janua digelandang petugas. Dia hanyalah warga biasa yang mengaku-ngaku sebagai anggota Brimob.
Kasusnya terus berlanjut sampai ke persidangan. Senin (2/11), dia kembali menjalani sidang dengan agenda meminta keterangan saksi. Dalam hal ini, majelis menghadirkan dua orang anggota provost Polri.
”Kami yang menjemput terdakwa saat diamankan di Mako Brimob. Saat itu, dia sudah diamankan di sana,” ujar saksi dalam sidang yang digelar di Pengadilan Negeri (PN) Surabaya, Senin siang.
Dari sidang ini, diketahui bahwa dalam menjalankan aksinya itu, terdakwa mengoperasikan akun jejaring sosialnya menggunakan handphone.
”Termasuk saat menulis status dan mengganti profilnya itu, dilakukan lewat Handphone milik terdakawa,” kata jaksa Nining Dwi Ariany, usai sidang.
Dalam perkara ini, terdakwa dijerat dengan pasal penghindaan dan atau pencemaran baik sebagaimana diatur dalam pasal 27 ayat 3 Undang-undang nomor 11 Tahun 2008 tentang ITE.
”Kami juga mengajukan dua saksi ahli dalam persidangan ini. Mereka berasal dari ahli hukum pidana serta ahli informasi dan teknologi. Berdasar keterangan ahli tersebut, perbuatan terdakwa bisa disebut penghinaan,” lanjut jaksa Nining.(ufi)