TRIBUNNEWS.COM,SURABAYA - Melarikan diri dan melawan petugas seperti yang dijelaskan Kombes Pol Awi Setiyono itu memang prosedur tetap (protap) untuk melumpuhkan penjahat dengan peluru.
Tapi, toh ternyata muncul saja protes dari keluarga dan tersangka, dengan tudingan penembakan yang diterimanya justru karena polisi melupakan protap itu. (Baca: Saya Tak Lari Kok Ditembak)
Polisi kemudian meminta Akbar mengungkapkan jaringan yang lebih luas.
“Saya tidak tahu jaringan bos saya. Saya ini pengecer, yang hanya biasa berhubungan dengan pemakai,” terangnya.
Namun polisi tidak percaya. Polisi dari Polwiltabes Surabaya (sekarang Polrestabes), membawanya keliling. Sampai di dekat Masjid Al Akbar, polisi membawanya turun dari mobil.
Dalam posisi berdiri, polisi meletakkan laras senjata api ke betis kirinya. Sejurus kemudian, senjata itu menyalak dan pelurunya menembus betis Akbar. Namun tembakan tersebut tidak membuat Akbar terjatuh.
“Salah saya ketika itu tidak pura-pura jatuh, makanya polisi menganggap saya kuat. Akhirnya masih posisi berdiri, giliran kaki kanan saya ditembak,” katanya.
Seperti yang pertama, polisi menempelkan ujung laras bedil di belakang betisnya, kemudian ditembakkan.
Tembakan kedua membuat Akbar ambruk. Kedua kakinya yang berlubang tak kuat menyangga berat tubuhnya. Polisi kemudian membawanya ke ruang penyidikan.
“Sebenarnya gak usah ditembak. Wong penyidikan saja sudah sakit, dan pasti akan mengaku,” ujarnya.
Dua minggu di tahanan polisi, Akbar kemudian dilimpahkan ke Rutan Medaeng.
Selama itu pula tidak ada upaya pengobatan. Luka berlubang tersebut langsung dijahit dan dibebat. Hanya obat nyeri yang diterimanya. Itu pun hanya cukup selama tiga hari.
Setelah itu polisi lepas tangan, dan pengobatan sepenuhnya tergantung keluarga.
Karena keterbatasan dana, peluru di kaki kanan tersebut tidak pernah diambil. Sementara untuk menyembuhkan luka tembak, Akbar mengandalkan ramuan binahong.