TRIBUNNEWS.COM, MUNA -Kehidupan Mujiharjo (54) berubah sejak anak bungsunya, Seneng Mujiasih, merantau ke Hongkong tujuh tahun lalu. Perubahan paling kasat mata adalah rumah baru ukuran 8x8 meter warna kuning terang.
Rumah itu kontras dengan rumah di sebelahnya yang berdinding kayu dan beratap seng. "Rumah kami yang dulu dindingnya papan dan seng. Luasnya hanya 5x7 meter," ujar Mujiharjo sambil menunjuk rumah lamanya.
Rumah Mujiharjo terletak di perkampungan transmigran di Desa Sidomakmur, Kecamatan Tiworo Kepulauan (Tikep), Kabupaten Muna Barat, Provinsi Sulawesi Tenggara.
Mujiharjo mengakui, rumah temboknya dibangun mulai tahun 2012 menggunakan uang yang dikirim Seneng dari Hongkong. Pertengahan tahun 2014, pembangunan selesai dan Mujiharjo bersama istri, anak pertama, dan mertuanya segera pindah ke rumah baru.
"Waktu mau pergi ke Hong Kong dia bilang, 'Pak, aku mau kerja di luar negeri, mau bantu orangtua, supaya nanti kalau aku pulang, uangnya diwujudkan dalam bentuk rumah. Kalau rumah sudah jadi, bisa tidak bisa aku akan pulang'," ujar Mujiharjo. "Sekarang rumahnya sudah jadi, tapi dia sudah nggak ada," kata Mujiharjo yang matanya berkaca-kaca.
Titik balik Mujiharjo terjadi tahun 2007, setelah Seneng Mujiasih bekerja di Hongkong dan mengirim uang Rp 5 juta per bulan atau Rp 15 juta hingga Rp 20 juta per tiga bulan. "Seneng terakhir kirim uang Rp 20 juta setelah beberapa bulan tidak mengirim uang," kata Mujiharjo.
Seneng mengirim uang Rp 20 juta itu beberapa saat setelah diberi tahu bahwa ibunya perlu biaya pengobatan karena penyakit gulanya kambuh. "Mamanya sakit gula, butuh biaya berobat bulanan," ujar Mujiharjo. "Tapi dia juga minta uangnya dibelikan perabotan dan Seneng minta dibelikan ranjang berukir," ungkapnya.
Sampai kemarin, Mujiharjo belum menggunakan uang Rp 20 juta itu untuk membeli ranjang berukir yang dipesan Seneng. Ia baru menggunakan sebagian uang tersebut untuk pengobatan Jumineg hingga akhirnya kabar duka itu datang.
Dari uang yang dikirimkan Seneng terdahulu, menurut Mujiharjo, tak ada yang disisihkan untuk tabungan. Kiriman dari Seneng habis untuk keperluan rumah tangga dan untuk pembangunan rumah. "Selain rumah, nggak ada wujudnya. Sawah juga nggak ada. Cuma rumah ini yang selesai dibangun. Tapi, rumah ini juga belum ada isinya, lemari belum ada, kasur atau ranjang tidak ada," kata Mujiharjo.
"Harta saya cuma sepeda ontel," ucapnya seraya menunjuk sepeda ontel yang tersandar di dinding kamar.
Rumah tembok yang dibangun menggunakan uang dari Seneng adalah pencapaian berarti bagi keluarga Mujiharjo. Sebelumnya, selama sekitar 14 tahun, keluarga itu bergeming dari rumah kayu pemberian pemerintah.
Mujiharjo pertama kali menjejakkan kaki di Pulau Muna, Sulawesi Tenggara, sebagai peserta program transmigrasi, tahun 1983. Dia meninggalkan tanah leluhurnya di Sleman, DI Yogyakarta, untuk meraih kehidupan yang lebih baik.
Di rumah itu pula, Mujiharjo dan istrinya, Jumineng, membesarkan kedua anaknya, Sri Suantoro, lahir tahun 1984, dan Seneng yang dua tahun lebih muda dari Suantoro. Ibunda Jumineng, Ny Mujineng (74) juga tinggal bersama mereka.
Selain rumah, Mujiharjo juga mendapat lahan pertanian seluas 1 hektare yang ditanami jagung. Menurut Mujiharjo, uang yang didapat dari panen jagung tak cukup untuk makan maupun biaya sekolah kedua anaknya. Karena itu, Mujiharjo dan istrinya juga bekerja sebagai buruh di ladang ataupun sawah orang lain.