“Saya juga belum tahu alasannya apa, namun yang jelas tahun ini air cepat surut,” paparnya.
Sementara itu, Sulastri, salah satu korban lumpur yang baru pulang dari pengungsian di Balai Desa Gempolsari untuk ngecek rumahnya, justru mempertanyakan kenapa BPLS yang tak kunjung memperbaiki tanggul di titik 73 B yang jebol.
“Seharusnya BPLS cepat memperbaiki tanggul yang jebol. Soalnya ini yang lebih mendesak karena saat ini musim hujan,” ungkap Sulastri.
Ibu tiga anak ini, tidak mau rumahnya beserta tetangganya ditenggelamkan oleh air dan lumpur sebelum dibayar oleh Lapindo atau pemerintah. Karena Sulastri bersama 99 orang dalam 24 Kepala Keluarga (KK) tidak memiliki apa-apa.
“Jangan tenggelamkan rumah kami sebelum dibayar lunas. Kami bersama warga lainnya ini sudah menderita,” terangnya.
Selama tiga hari di pengungsian, Sulastri bersama tetangganya mengaku tidak kekurangan apa-apa. Namun untuk istirahat, warga mengaku kesulitan karena belum terbiasa tidur berkumpul dengan orang banyak.
“Kalau istirahat di rumah kan lebih tenang. Apalagi anak-anak disini (pengungsian) sulit untuk belajar karena butuh tempat yang tenang,” kata Sulastri.
Sementara itu, di lokasi pengungsian di Balai Desa Gempolsari didirikan dapur umum untuk memenuhi kebutuhan makan pengungsi.
Tim dari Tagana dan tim lainnya bekerja untuk memasak, menggoreng ikan dan mengiris bumbu.
Dapur yang disediakan untuk pengungsi ini bekerja sebanyak tiga shift sehingga kondisi pengungsi tidak sampai kekurangan bahan makanan.
Petugas dari Polres Sidoarjo dan Kodim 0816 Sidoarjo terus memantau perkembangan kondisi rumah warga dan mengamankan warga dari hal-hal tak diinginkan.(mif)