Laporan Wartawan Tribun Kaltim, Niko Ruru
TRIBUNNEWS.COM, NUNUKAN - Sejumlah pedagang kaki lima di Pulau Nunukan, Kalimantan Utara memilih beralih profesi sebagai tukang ikat rumput laut untuk mempertahankan dapur mereka tetap mengepul.
Mereka memilih beristirahat berjualan karena tidak mampu menutupi biaya operasional menyusul pencabutan subsidi yang membuat harga minyak tanah melambung menjadi Rp 20 ribu per liter.
"Mereka menjadi tukang ikat rumput laut demi mempertahankan dapur," kata Ketua Asosiasi Pedagang Kaki Lima Kabupaten Nunukan Kastari, Senin (30/3/2015).
Gas elpiji tiga kilogram sebagai konsekuensi konversi minyak tanah ke gas, dinilai tidak banyak membantu meringankan beban para pedagang kaki lima.
''Kalau gas kan buat yang mangkal. Kalau dipakai keliling, mereka susah. Apalagi kepala kompornya enggak dijual di Nunukan. Adanya di Surabaya. Kalau memakai itu biayanya bisa Rp 500 ribu," ujarnya.
Jika harus memaksakan berdagang dengan membeli minyak tanah nonsubsidi, para pedagang harus menaikkan harga kue dan makanan yang diproduksi.
"Kenaikannya masih bervariasi tergantung kebijakan penjual kue dan makanan," ujarnya.
Kastari mengaku biasanya membeli minyak tanah sebanyak lima liter setiap kedatangan minyak tanah bersubsidi, kini hanya mampu membeli 1,5 liter.
"Karena kita harus memikirkan uang saku anak dan membeli kebutuhan dapur untuk kebutuhan makan keluarganya," ujarnya.
Dia mengatakan, minyak tanah sebanyak 1,5 liter hanya cukup untuk berjualan selama satu hari. "Besok beli lagi. Ya bagaimana kalau langsung 5 liter? Enggak ada nanti buat sangu anak sekolah. Enggak cukup beli ikan,'' katanya.