TRIBUNNEWS.COM. SEMARANG - Terlahir dari keluarga mapan tidak serta-merta membuat Djoko Wahyudi mudah meraih kesuksesan di bidang kontraktor. Putra pertama dari Profesor Soehardjo itu juga merintis usaha dari nol.
Menurut Djoko, kontraktor merupakan badan usaha yang paling menderita, sehingga dia merajut sejumlah usaha untuk menopang kehidupan keluarga kecilnya.
Berikut ini penuturan Djoko Wahyudi kepada Wartawan Tribun Jateng, Dini Suciatiningrum, beberapa waktu lalu.
Mengapa Anda tertarik dunia kontraktor?
Sewaktu kelas XI SMA saya benar-benar bingung ingin melanjutkan kuliah. Kemudian saya terinspirasi bencana alam yang sering terjadi di Indonesia. Setelah saya cari-cari info, ternyata Teknik Sipil sangat dipengaruhi pelajaran Matematika dan Fisika yang saya sukai pada masa SMA. Akhirnya saya memilih untuk melanjutkan ke Jurusan Teknik Sipil Universitas Diponegoro (Undip) Semarang pada 1966.
Pengalaman menarik selama kuliah?
Pengalaman yang tidak saya lupakan adalah ketika semester enam. Saat itu saya sudah menikah, sehingga harus bertanggungjawab menghidupi keluarga. Saya mulai mengerjakan proyek Yayasan Masjid Baiturahman pada 1968.
Karena gaji yang diberikan tidak mencukupi, yakni hanya Rp 5 ribu, saya bekerja serabutan jadi kuli, ikut membengkokkan besi bersama tukang proyek buat mencari tambahan.
Tidak berhenti di situ, saya terus belajar pada teman-teman yang memiliki segudang pengalaman. Satu di antara sahabat yang menginspirasi, yakni Kho Boen Bak. Dia yang memberikan nasihat agar bekerja secara jujur, sederhana, dan profesional agar dapat meraih kesuksesan.
Kho Boen Bak tidak lelah membimbing saya, hingga kehidupan saya mulai membaik saat bekerja di Batam Textile, Ungaran, Kabupaten Semarang, dengan gaji Rp 22 ribu per bulan.
Setelah lulus apa yang Anda lakukan?
Dari pengalaman semasa kuliah, saya membuat perusahaan jasa kontraktor dengan bimbingan Kho Boen Bak. Saya tidak punya modal waktu itu, bahkan untuk membayar karyawan saya meminjam uang istri yang saat itu membuka usaha salon.
Sejalan waktu, saya dipercaya mengerjakan sejumlah proyek, tetapi saya fokus di proyek jalan dan jembatan di Pemalang. Saat itu perusahaan saya terus berkembang.
Mengapa anda fokus mengerjakan proyek jalan dan jembatan?
Berbekal pengalaman bekerja semasa kuliah, saya melihat membangun gedung itu repot, item lebih banyak, sehinga saya fokus mengerjakan proyek jembatan dan jalan. Jembatan pertama yang saya bangun yakni jembatan Kali Layangan, Kecamatan Bodeh, Kabupaten Pemalang pada 1980.
Saat mengerjakan proyek itu, saya yakin mukjizat datang pada orang yang berani. Terbukti saat itu banjir hebat melanda Kota Pemalang, jembatan yang baru berdiri itu ternyata tetap kokoh berdiri.
Apakah Anda puas dengan kehidupan saat itu?
Tidak. Saya sudah memikirkan sejak awal saat mendapatkan proyek akan menyisihkan pendapatan untuk investasi. Kehidupan seorang kontraktor itu terbatas karena terikat kontrak selama enam sampai 1 tahun, setelah itu bingung cari market.
Suatu hari saya bertemu teman saya, Rony. Dia seorang pengusaha di bidang farmasi. Saya melihat kehidupan dia tenang, bekerja santai, tidak sampai larut malam, sehingga saya tertarik terjun di dunia lain.
Namun, merintis usaha di PT Sampharindo Perdana (Pharmauceutical Industries) tidak mudah. Ujian itu datang, tepatnya saat krisis ekonomi melanda negeri ini pada 1998.
Keadaan ekonomi saat itu mengerikan, suku bunga naik sampai 70 persen, saya hanya bisa pasrah dan berserah diri. Namun, mukjizat itu datang, alhamdulillah perusahaan saya bisa bertahan dan berdiri sampai sekarang.
Bagaimana Anda melihat dunia kontraktor saat ini?
Terjun di dunia kontraktor memang bisnis yang bergengsi, tetapi menderita. Seharusnya sistem value engineering harus dilaksanakan secara terbuka. Saat ini, teman-teman Gabungan Pengusaha Konstruksi nasional Indonesia (Gapensi) pelan-pelan melakukan usaha agar kehidupan kontraktor lebih sejahtera, dan bisa berinovasi.
Sebab saya lihat, kontraktor swasta saat ini sulit bertahan karena harus bersaing dengan kontraktor dari Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang jumlahnya cukup banyak dan memiliki modal lebih kuat.
Indonesia ini masih lamban, bahkan tenaga kontraktor di luar negeri digaji sama seperti tenaga kerja Indonesia, karena tidak mempunyai sertifikat. Ini yang masih kami perjuangkan.
Bagaimana Anda menyikapi kedatangan Masyarakat Ekonomi Asean (MEA)?
Saya yakin generasi muda Indonesia yang nanti terjun di bidang kontraktor siap bersaing dan mampu menghadapi MEA. Saya yakin karena sebenarnya orang-orang Indonesia lebih pintar dibandingkan dengan orang luar negeri. (dni)