TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Tim gabungan Tentara Nasional Indonesia (TNI) dari Kodim 0113 Gayo Lues bekerjasama dengan Badan Narkotika Narkotika Nasional (BNNK) Gayo Lues, BNN, dan Polres Gayo Lues, melakukan pemusnahan ladang ganja di areal seluas kurang lebih 22 hektar, Jumat (1/5/2015).
Lokasi ladang berada di Kecamatan Blangkejeren, Kabupaten Gayo Lues, Aceh, dan masuk dalam kawasan Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL). Perjalanan dari Desa Agusan hingga ke lokasi ladang ganja ditempuh dengan cara mendaki, sekitar enam hingga delapan jam perjalanan.
Penemuan ladang ganja ini berawal dari laporan intelijen pihak Kodim yang menemukan satu titik ladang ganja di awal tahun 2015. Sebelumnya pada enam tahun lalu mereka juga pernah menemukan ladang ganja di lokasi yang sama. Selanjutnya pihak Kodim berkoordinasi dengan BNNK Gayo Lues untuk kemudian melaporkannya kepada Deputi Pemberantasan BNN.
Dari hasil dua operasi, total ladang yang ditemukan sekitar 22 hektar, terdiri dari sembilan titik lokasi dengan lokasi paling luas sekitar sembilan hektar. Dari ke-9 titik ini ada yang telah memasuki masa siap panen dan ada yang baru berumur 1-2 bulan. Umumnya ganja siap dipanen pada saat memasuki usia enam bulan.
Di titik lokasi pertama, ditemukan tanaman ganja yang tingginya mencapai 3 meter dengan kerapatan antar pohon sekitar 1 meter. Di lokasi tersebut juga ditemukan semacam posko, peralatan masak dan persediaan logistik. Dugaan yang ada, mereka biasanya tinggal di posko selama tiga hingga tujuh hari.
Komandan Kodim 0113 Gayo Lues, Letkol Kav. A. Agung Ngurah Sugiarto menyarankan agar ada solusi alih fungsi untuk masyarakat yang ada di sekitar ladang ganja dan hal ini juga telah ia sampaikan kepada Bupati Gayo Lues.
"Perlu ada solusi kongkret bagi masyarakat sekitar ladang yang biasa menanam ganja, karena alasan mereka menanam umumnya karena faktor ekonomi," kata Agung.
Dalam kesempatan ini Deputi Pemberantasan BNN Deddy Fauzi Elhakim, menyampaikan apresiasinya kepada pihak TNI atas kontribusinya untuk turut memberantas Narkoba.
Menurutnya, kondisi darurat Narkoba saat ini bisa dilihat karena masifnya operasi yang dilakukan oleh penegak hukum. Pengungkapan 800 kg sabu beberapa waktu lalu merupakan penangkapan terbesar dunia selama 10 tahun terakhir.
Terkait adanya pendapat bahwa vonis mati terhadap bandar Narkoba tidak membuat jera, Deddy mengatakan anggapan itu muncul karena pelaksanaan eksekusi hukuman mati yang selalu tertunda.
"Eksekusi harus segera dilaksanakan jika ingin ada efek jera bagi penyelundup Narkoba," katanya.
Deddy menambahkan bahwa saat ini ganja Aceh telah menyebar dan tumbuh di wilayah Bengkulu, Jambi, Palembang, Garut, Pengalengan, dan Bogor. Ada modus baru, dimana petani menanam ganja untuk kemudian keuntungannya digunakan membeli sabu.
"Saat ini ada istilah jugabu atau jual ganja untuk beli sabu," kata Deddy.