Saat dihubungi Serambi per telepon tadi malam, Din Minimi mengaku sangat maklum pada kerinduan dan permintaan istrinya itu.
Tapi ayah tiga anak dan mantan kombatan GAM itu mengaku akan terus memperjuangkan cita-citanya menuntut keadilan dari Pemerintah Aceh sampai akhir hayat.
Din Minimi cenderung tak menghiraukan permintaan istrinya untuk turun gunung dan berkumpul kembali bersama keluarga sebelum cita-citanya terwujud.
“Kalau tidak ada satu pun keputusan, biarkan saya di sini (hutan -red) sampai menutup mata. Biar puas hati mereka (Pemerintah Aceh -red),” kata Din Minimi.
Saat wawacara berlangsung Din Minimi mengaku sehat, bersama rekan-rekannya yang tak dia sebutkan di mana lokasinya.
Din Minimi juga kembali bercerita banyak tentang kekecewaannya atas perlakukan Pemerintah Aceh yang dinilainya tidak memberikan keadilan kepada rakyat Aceh.
Padahal, katanya, wujud dari perdamaian Aceh adalah adanya keadilan dan kesejahteraan bagi rakyat.
“Saya tak butuh negara. Tidak minta Aceh merdeka. Saya hanya menuntut keadilan dari Pemerintah Aceh,” ujarnya.
Tapi sebaliknya, kata Din Minimi, kesejahteraan hanya dirasakan oleh lapisan elite pemerintah. Hal itu pula yang membuatnya angkat senjata.
Kepada Serambi yang mewawancarinya, Din mengaku tetap kukuh dengan prinsip perjuangannya.
Ia tak akan pernah berhenti mengobarkan semangat menuntut keadilan pemerintah.
Setidaknya, seperti yang pernah berkali-kali ia sampaikan kepada media.
Din Minimi hanya menginginkan Pemerintah Aceh memberi keadilan kepada anak yatim, janda korban konflik, dan mewujudkan butir-butir MoU Helsinki seperti yang telah disepakati Pemerintah RI dan GAM.
“Kami bukan perampok. Kami tidak menembak TNI. TNI mana yang kami tembak? Sekarang empat rekan saya sudah syahid, juga Yusliadi. Dia adalah seorang yatim. Bagaimana nasib keluarga dan anak-anak mereka? Apakah pemerintah masih ingin melanjutkan konflik ini?” tanya Din Minimi bernada tegas.