Laporan Wartawan Tribun Timur, Hasim Arfah
TRIBUNNEWS.COM, MAKASSAR - Perlakuan diskriminatif dialami etnis Rohingya di negara asalnya, Myanmar. Meski sudah menamatkan pendidikan, mereka tak mendapatkan ijazah sebagai modal untuk bisa masuk dunia kerja.
Hal itu dialami Ayaz (27). Pria lulusan Yangon University ini tak mendapatkan ijazah dari kampusnya. Yangon University adalah salah satu universitas terbesar dan tertua di Myanmar.
Pria berbadan kurus itu bisa berbahasa Indonesia. Di kampungnya, Ayaz mengajarkan bahasa Inggris untuk anak-anak etnis Rohingya yang berdiam di barat desa Duchiradan, Myanmar.
"Saya dulu mengajar anak-anak, namun harus berhenti setelah kami terpaksa mengungsi, kampung kami dibakar," kata Ayaz mengenang kisah kelam yang dialami di kampung halamannya.
Ayaz tak pernah bisa melihat ijazahnya, meski berkali-kali mengurus ke pihak kampus. Selama tinggal di sana, etnis Rohingya dilarang meninggalkan distrik.
Sejak tiga tahun lalu, etnis Rohingya sudah masuk Makassar, Sulawesi Selatan, karena mesin kapal yang mengangkut pengungsi tujuan Australia rusak. Sehingga kapal bersandar ke pantai terdekat yakni Makassar.
"Kami sebenarnya mau ke Australia mencari suaka, tapi kapal kami rusak di perjalanan dari Kendari menuju utara Australia, sehingga kami terpaksa diturunkan di Makassar hingga hari ini," katanya di Pondok Merah, Pannakukang, Makassar.
Muhammad Alam (15), pengungsi Rohingya lainnya dari Desa Yang Gub tak bisa mengingat muka ibunya lagi. "Saya lupa muka ibu. Saya tidak ingat lagi di mana sekarang. Saya tahu dia terakhir di Malaysia. Sekarang tidak tahu lagi," kata Alam.
Alam tinggal berempat bersama tiga adiknya dan terdampar di Makassar. "Tiap malam adik saya cari ayah dan ibu. Saya juga bingung mau bilang apa. Saya agak lupa ibu dan bapak saya. Karena lama tak kontak lagi," cerita remaja berambut ikal ini.
Selama tiga tahun, UNHCR-IOM memberikan santunan untuk orang dewasa Rp 1,2 Juta perbulan dan anak-anak Rp 500 ribu perbulan.