TRIBUNNEWS.COM, MEDAN - Tak lama usai pesawat Hercules C-130 jatuh di Medan, Selasa (30/6/2015), Kepala Staf TNI Angkatan Udara Marsekal Agus Supriyatna menegaskan tak ada warga sipil di dalam pesawat, kecuali keluarga TNI. Ia tegas membantah kabar yang menyebutkan pesawat ini biasa dikomersialisasikan untuk membawa penumpang umum.
"Siapa yang bilang. Kalau memang ada, buktikan kepada saya, biar kita pecat mereka semua. Enggak ada itu yang dikomersialkan, ngarang itu," ucap Agus kala itu.
Agus lalu menjelaskan, selain prajurit TNI, memang dimungkinkan ada keluarga TNI yang menumpang di pesawat itu. "Itu anggota semuanya, tetapi keluarga jelas ada-lah," ucap dia sambil merinci ada 101 penumpang dan 12 kru pesawat, terdiri dari tiga penerbang, satu navigator, dan delapan teknisi.
Segala penjelasan Agus itu terbantahkan oleh keterangan beberapa keluarga korban. Brigadir Polisi S Sihombing misalnya. Paman dari korban Ester Yosephine Sihombing dan Yunita Sihombing ini membayar Rp 800 ribu per orang. Padahal, ayah kedua korban adalah Serda Sahata Sihombing yang bertugas sebagai babinsa di Koramil Ranai, Kepulauan Natuna.
"Kalau naik pesawat komersial satu jutaan per orang, mahal. Makanya, mereka naik pesawat itu," kata Sihombing.
Begitu juga pengakuan Tetdi Pakpahan, tante dari korban Ivan Ganda Tua Situmorang (13), yang sampai saat ini jenazahnya belum teridentifikasi. Ivan berangkat ke Natuna bersama ayahnya yang juga menjadi korban, Marasi Situmorang. Keduanya membayar untuk penerbangan ini.
"Mungkin uang itu karena dia bukan keluarga tentara. Dia naik pesawat ini atas anjuran temannya yang tentara. Tahu sama tahu, dan siapa senang sajalah. Kami tak percaya dia mau naik pesawat ini. Orang datangnya dari Kualanamu," kata Tetdi, Rabu (1/7/2015).
"Bukan enggak ada duitnya. Pengusaha dia. Tapi, karena mau cepat saja dan atas anjuran kawannya yang TNI, makanya diajaknya anaknya naik pesawat ini. Ada itu bayar-bayar," kata dia lagi.
Sementara seorang perempuan berkerudung yang duduk di depan Tetdi yang sedang menungu kabar dua anak laki-lakinya mengatakan, mereka membayar Rp 800 ribu per orang. "Terus dibuat surat keterangan, bukan tiket. Salah satu isinya, jika terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, keluarga tidak boleh menuntut. Ya kayak gini inilah," kata dia sambil menangis.
Wanita ini tak mau menyebutkan namanya. Tak lama, dia berdiri karena petugas Posko Ante Mortem di RSUP H Adam Malik memanggilnya. (Kontributor Kompas.com Medan, Mei Leandha)