TRIBUNNEWS.COM.SEMARANG –Importir atau pengusaha mempunyai andil besar untuk membantu mengatasi permasalahan dwelling time, termasuk di Pelabuhan Tanjung Emas Semarang. Itu karena tidak semua pengusaha ingin segera mengeluarkan kontainer dari Terminal Peti Kemas Semarang (TPKS).
Manajer Operasi TPKS, Edy Sulaksono menyebut ada kontainer mangkrak lebih dari 20 hari hingga Agustus 2015. Hingga kini, ia masih menunggu jawaban dari pihak pengusaha terkait hal itu.
Dalam datanya, ada 29 kontainer yang menginap lebih dari 20 hari. Masa inapnya bervariasi mulai dari 29 hari, 30 hari, 47 hari hingga terlama 242 hari atas nama PT Sinar Karunia Mulia. Pihaknya hanya berfungsi mendata berdasarkan nomor kontainer, tidak berwenang mengeluarkan. "Kalau lama biasanya bermasalah, tapi masalahnya apa saya tidak tahu. Yang tahu pihak yang mengurusi custom clearance (Bea Cukai dan Balai Karantina)," ucapnya, pekan lalu.
Selain masalah dokumen, faktor jasa pengurusan dokumen kepabeanan juga memengaruhi kecepatan masa inap kontainer. Banyak dari importir yang menggunakan jasa Perusahaan Pengurusan Jasa Kepabeanan (PPJK) dalam kepengurusan dokumen ekspor atau impor.
Cepat tidaknya kontainer keluar juga berdasar pada kinerja perusahaan jasa tersebut. Perusahaan itulah yang mengurus segala tetek bengek birokrasi dokumen kepabeanan mulai dari barang datang hingga keluar. Lalu alasan lain adalah beberapa gudang pengusaha masih penuh. Sehingga beberapa pengusaha memilih menginapkan kontainernya terlebih dahulu. “Ada juga barang dikirim ke sini tapi belum ada penerima,” katanya.
Seperti dilaporkan Tribun Jateng, dwelling time di Tanjung Emas juga menjadi sorotan. Dwelling time di Tanjung Emas yang harusnya rata-rata 4,2 hari kini masih mencapai enam hari.
Dwelling time adalah ukuran waktu yang dibutuhkan kontainer impor, sejak kontainer dibongkar dari kapal (berthing) sampai dengan keluar dari kawasan pelabuhan (gate out).
Kepala Seksi Penyuluhan dan Layanan Informasi Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea Cukai (KPPBC) Tipe Madya Pabean Tanjung Emas, Imam Sarjono, membenarkan ada beberapa kontainer yang belum keluar dari pelabuhan. Bahkan, ada kontainer bernomor TCNU8556809, TCNU9173640 dan KKFU7775322 tercatat 242 hari masih di pelabuhan. Setelah dicek, pihaknya ternyata sudah mengeluarkan Surat Perintah Pengeluran Barang (SPPB). ”Kami akan segera mengonfirmasi pemilik kontainer terkait hal itu. Sebab, kami sudah memperbolehkan tiga kontainer itu untuk keluar dari pelabuhan,” kata Imam.
Perbedaan kepentingan
Wakil Ketua Umum Gabungan Importir Nasional Seluruh Indonesia (GINSI) bidang kepelabuhan dan kepabeanan, Andreas BW mengatakan ada perbedaan kepentingan dalam hal dwelling time di kalangan importir. "Yang diumumkan soal dwelling time itu kan rata-rata, sedangkan jenis impor itu ada tiga yaitu importir produsen di Jateng capai 82 persen, lalu 15 persen importir umum, sisanya importir tertentu," katanya ditemui di kantornya, belum lama ini.
Ia mengatakan untuk pelayanan kepelabuhan dari sisi importir produsen saat ini puas. Karena rata-rata barang mereka bisa keluar dengan cepat. Tapi perhitungan dwelling time akan membengkak jika digabungkan dengan importir tertentu yang harus urus izin hingga Jakarta.
Andreas mengatakan untuk importir produsen, waktu 5, 6 hari itu sudah cepat. Dalam satu dokumen, importir produsen bisa menerima puluhan kontainer. "Kalau semua importir misalnya dipukul rata dwelling time harus 4,2 hari, ya engga mungkin," katanya.
Ketua Persatuan Gulat Seluruh Indonesia (PGSI) Jateng itu berujar ada importir yang lebih baik barangnya di pelabuhan selama tujuh hari. Bahkan banyak pengusaha yang minta hingga 14 hari stay di pelabuhan.
Para importir itu memilih bayar biaya inap di pelabuhan daripada pola distribusinya terganggu. “Contohnya saat ini impor terbesar di Jateng atau 70 persennya adalah bahan baku tekstil seperti kapas dan bijih plastik.
Tentunya importir lain tidak semua membutuhkan dwelling time sama dengan bahan baku. Masing-masing jenis importir punya kepentingan sendiri,” katanya.(tim)