TRIBUNNEWS.COM, JOMBANG - Kekeringan yang terjadi di sejumlah wilayah Kabupaten Jombang Pemkab Jombang terjadi tidak lepas dari sumber mata air di Jombang yang sudah dalam kondisi mengkhawatirkan alias kritis.
Sekretaris Lakpesdam (Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumberdaya Manusia) NU Jombang, Lutfi Prasetyo Aji mengatakan, jika tidak segera dicarikan solusi, maka petani kian kesulitan mengairi sawah.
“Belum lagi kebutuhan masyarakat yang bergantung kepada sumber mata air di masing-masing daerahnya,” ujarnya, Minggu (20/9/2015).
Ia membeberkan, kini debit air di hulu seperti di Desa Jarak, Kecamatan Wonosalam sebagai penyumbang debit air sungai untuk daerah hilir di Kecamatan Kesamben dan Sumobito mengecil.
Akhirnya untuk daerah-daerah tersebut kini kesulitan air guna menyiram tanaman pangan di lahan mereka.
Sungai tak mampu mengairi sawah. “Padahal jika melihat potensi ada di beberapa daerah di Jombang, krisis air seharusnya sudah terpenuhi,” bebernya.
Ia juga menyayangkan, hutan sebagai penyangga air sekarang menjadi alih fungsi hutan industri.
Dimana lahan dijadikan ajang lahan basah perluasan bisnis para pengusaha untuk perusahaan berbahan dari kayu seperti tanaman sengon dan jabon.
”Lalu bagaimana skema pemerintah membuat perlindungan terhadap petani di Jombang dan kedaulatan air,” katanya memprotes.
Sementara di Jombang sendiri masih bergantung pada Daerah Aliran Sungai (DAS) Mrican Kanan sudetan Sungai Brantas yang ada di Kediri untuk beberapa lahan persawahan.
Menurutnya, kedaulatan air di Jombang harus diperhatikan oleh pemkab setempat karena jadi kebutuhan pokok masyarakat.
Pemerintah setempat, sambungnya, tidak boleh sembarangan untuk urusan kekeringan dan matinya sumber mata air.
“sangat mungkin dua tiga tahun ke depan, di masyarakat Kabupaten Jombang akan sengsara karena tidak bisa mendapatkan kesulitan air untuk mengairi sawah maupun untuk kebutuhan sehari-hari rumah tangga,” pungkas Lutfi.
Ratusan Mata Air Kritis// Pengamatan Lakpesdam NU bukan hal baru. Beberapa waktu lalu, Wonosalam Institute, sebuah LSM, juga merilis kekhawatiran serupa.
Menurut mereka, sedikitnya 123 mata air di Kecamatan Wonosalam, dalam kondisi kritis.
Penyebabnya, kecuali musim kemarau panjang, merosotnya debit sumber air tersebut juga karena penggundulan lahan hutan di kawasan pegunungan Anjasmara tersebut.
Direktur Wonosalam Institut, Amiruddin Muttaqin, mengungkapkan, hasil pendataan yang dilakukan LSM yang dipimpinnya, sebanyak 123 mata air mengalami penurunan debit hingga 50 persen lebih.
“Bahkan ada tiga diantaranya kondisinya sudah mengering tanpa air sama sekali. Ini mengkhawatirkan," kata Amiruddin Muttaqin, akhir tahun lalu.
Ke-123 mata air tersebut tersebar di sembilan desa. Yakni Desa Jarak, Panglungan, Galengdowo, Carangwulung, Sumberejo, Wonokerto, Wonomerto, serta Wonosalam.
"Setiap desa minimal terdapat 10 mata air. Bahkan ada sebuah desa yang di situ terdapat 24 mata air," tambahnya.
Amirudin mengatakan ratusan mata air tersebut memiliki berbagai karakter. Misalnya ada yang termasuk mata airartesis, yakni mata air yang muncul dari tanah.
Kemudian,mata air yang sumbernya dari celah batu, serta mata air dari patahan tanah.
"Letak mata air itu juga bervariasi. Ada yang di hutan lindung, tahura (taman hutan rakyat), serta di pekarangan milik warga. Seluruh mata air sudah kami data," ujar lelaki gondrong ini.