Laporan Reporter Tribun Jogja, Santo Ari
TRIBUNNEWS.COM, SLEMAN - Pertumbuhan masyarakat di Yogyakarta semakin bertambah hingga berimbas pada kepadatan jalan.
Selain menambahkan kemacetan, kebutuhan akan lahan parkir juga semakin bertambah.
Kecenderungan warga yang keluar rumah menggunakan kendaraan pribadi dan harus berhenti di lokasi yang dituju tak disia-siakan oleh orang yang ingin mengambil untung dalam kondisi itu.
Parkir hantu atau yang biasa disebut parkir liar semakin banyak ditemui di sudut-sudut kota Yogyakarta.
RBTV bekerjasama dengan KompasTV dan Tribun Jogja (Tribunnews.com network), menyelenggarakan program diskusi Jogja Bicara yang mengupas fenomena parkir hantu dan juru parkirnya.
Salah seorang narasumber yang diundang yang juga merupakan juru parkir liar, Deni, warga kota Yogyakarta, mengutarakan dirinya sudah menjadi juru parkir liar sejak delapan tahun lalu.
Diceritakannya, semula ia hanya bekerja sebagai penjaga malam sebuah pertokoan, dan akhirnya pemilik toko memperbolehkan dirinya untuk mengatur parkir.
Kini setiap rata-rata Deni bisa mengantongi uang hingga Rp 50 ribu.
Ia juga menjelaskan bahwa dirinya juga menyetorkan sejumlah uang ke pemerintah untuk memuluskan aktivitasnya tersebut.
"Setorannya tergantung ramai atau enggaknya parkiran. Kalau saya dan dua teman saya setor Rp 400 ribu. Kalau tempat lain bisa lebih sedikit atau juga bisa lebih banyak," terangnya, Sabtu (26/9)
Tentu saja hal tersebut menjadi sangat disayangkan lantaran seharusnya pendapatan parkir resminya bisa masuk ke pendapatan asli daerah, tetapi ini hanya masuk ke kantong pribadi saja.
Iwan Puja Riyadi, selaku peneliti dari Pusat Studi Transportasi dan Logistik (Pustral) UGM, mengutarakan dalam Undang-undang nomor 22 tahun 2009 tentang lalu lintas dan angkutan jalan.
Di sana disebutkan jalan propinsi, jalan nasional tidak boleh dijadikan lahan parkir di pinggir jalan.