News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Kisah Transmigran Bali dari Mual Keracunan Umbi Gadung hingga Akulturasi

Editor: Robertus Rimawan
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Salah satu budaya di Desa Kospa Dwata Karya-Luwuk yaitu makan sesagi bersama yang disiapkan oleh tuan rumah upacara agama, Minggu (20/9/2015).

Laporan Waratwan Tribun Bali, Luh De Dwi Jayanthi

TRIBUNNEWS.COM, BANGGAI - Transmigran Bali di Sulawesi Tengah tetap menjunjung tinggi tradisi dan budaya agama Hindu meski berbeda antara satu desa dengan desa lainnya.

Bagaimana mereka melakukan akulturasi budaya dan menyatukannya dengan budaya warga asli?

Masyarakat Desa Kospa Dwata Karya, Kecamatan Masama, Kabupaten Banggai, Sulawesi Tengah (Sulteng), ini merupakan sebagian kecil warga Bali yang bertransmigrasi ke luar daerah.

Transmigran yang kini menetap di sana berawal dari program transmigran tanpa biaya bantuan (TBB) asal Kabupaten Tabanan, Bali, tahun 1972 sebanyak 96 kepala keluarga (KK).

Penulis sejarah transmigran di Desa Kospa Dwata Karya, I Made Ngarsa, mengatakan, saat itu transmigran dari Bali disambut oleh kepala daerah tingkat II Banggai untuk penyerahan 250 hektar tanah untuk 100 KK.

“Sebelum menebang pohon di hutan, terlebih dahulu melaksanakan Upacara Adat Masama yaitu potong kambing dan ayam untuk memohon izin pembangunan pemukiman,” terang Ngarsa, Minggu (20/9/2015).

Transmigran saat itu hanya berbekal nasi onot (umbi gadung), mereka mulai merambah hutan meskipun sering merasakan mual dan muntah.

“Saat kami kerja buka kebun baru sering mengalami keracunan nasi onot. Tapi bagaimanapun kami harus tetap bekerja keras di bawah terik matahari dan hujan demi mewujudkan cita-cita. Ya, meskipun nafas sudah tersengal-sengal,” ujar Ngarsa yang menjabat sebagai kepala desa tahun 1996-2001 ini.

Dari sana sudah mulai muncul perbedaan antara transmigran mengenai kondisi fisik serta pengalaman.

“Ada kelompok asal Wangaya dan Sangketan yang sudah beradaptasi dengan lingkungan hutan, sedangkan kelompok asal Perean, Luwus dan Petiga mengenal hutan baru sampai Sulawesi,” tutur Ngarsa.

Keadaan seperti itu melahirkan kehidupan yang berkelompok-kelompok dari tahun 1972-1974.

Ngarsa menuturkan, perbedaan kelompok ini memengaruhi adat istiadat di Desa Kospa Dwata Karya saat itu.

“Ini yang paling sulit, hampir di antara kita terjadi kesalahpahaman. Sempat terjadi cara pandang yang senjang, perlu waktu untuk membaurkan kelima adat yang berbeda ini,” ujarnya sambil mengerutkan dahinya.

Ia menjelaskan bahwa agama semua sama yaitu Hindu, namun budaya yang berbeda.

Membaurkan adat Desa Kospa Dwata Karya, perlu beberapa tahun. Saat itu, Ngarsa menjabat kepala desa berasal dari Perean, lalu kepala desa adat asal Wangaya.

“Kami berdua yang menggodok masyarakat untuk menjalankan suatu upacara hasil keputusan kami,” terangnya dengan senyum yang mengembang.

Pernah dahulu, saat melaksanakan upacara pengabenan, kelompok dari pinggiran biasa dipuput oleh Ida Pedanda, sedangkan kelompok pegunungan tidak.

Saat itu diakali dengan memakai dua ketua panitia, untuk yang dipuput pedanda dan tidak dipuput pedanda.

“Memang agak susah tapi kita harus memfasilitasi keinginan warga kami. Hingga akhirnya warga kami sadar dan upacara selanjutnya kembali pada sastra,” jelas Ngarsa sambil menyandarkan badannya di kursi kayu.

Dalam pelaksanaan segala upacara adat, Desa Kospa Dwata Karya tidak berdasarkan awig-awig desa.

“Kita di sini hanya memakai perasaan dari hati ke hati. Menyatukan persepsi kira-kira mana yang cocok, mana yang tidak cocok,” lanjut Ngarsa.

Ngarsa menambahkan, dasar suatu upacara agama itu berasal dari dua yaitu sastra dresta dan loka dresta.

“Hingga akhirnya kebanyakan sekarang memakai sastra dresta. Jeg intine... Beneh di anggo Bali, beneh dini anggo dini (Benar di Bali pakai di Bali, benar di sini pakai di sini),” ungkap Ngarsa menyimpulkan.

Kini kurang lebih ada 300 KK di Desa Kospa Dwata Karya yang menyungsung Pura Kahyangan Tiga, Puseh, Desa, dan Dalem.

Luas lokasi Pura Puseh dan Pura Desa itu 60 are, sedangkan Pura Dalem dipersiapkan seluas 80 are.

Selain itu, juga ada Pura Puncak Batukaru, Puncak Sari yang disungsung oleh kelompok Wangaya dan Sangketan.

Begitu juga untuk Puncak Geni yang disungsung oleh kelompok Perean, ada juga Pura Segara Menuh oleh kelompok Luwus, dan Pura Yeh Bubuh oleh kelompok Petiga.

“Namun uniknya di sini, biarpun masing-masing pura itu dimiliki oleh masing-masing kelompok, namun seluruh warga di Desa Kospa Dwata Karya sembahyang ke sana setiap piodalan,” jelas Ngarsa.

Ngarsa mengatakan, transmigran tidak boleh hanya mengukuhkan adat budayanya saja, tetapi perlu menghargai budaya lokal di Kecamatan Masama.

“Seperti misalnya, saat upacara pawiwahan di sini. Pagi itu undangan untuk warga Hindu, lalu malamnya resepsi yang mengundang warga lokal di sini, lengkap dengan sambutan-sambutan, doa pengantin di atas panggung,” ungkap Ngarsa di rumahnya Banjar Bali II, Desa Kospa Dwata Karya.

Begitu juga setiap lima tahun sekali ada upacara potong kambing oleh masyarakat lokal, maka transmigran turut ikut dalam upacara itu.

Kalau untuk undangan adat Bali, pagi hari disediakan nasi metanding yang dinamakan sesagi.

Setiap nasi yang diberikan kepada undangan, dipersiapkan oleh pengoopin di rumah yang memiliki acara.

“Kalau nilai filosofisnya saya tidak begitu tahu, tapi mungkin ini cara orang tua dulu. Kalau pakai prasmanan, Yen megarang ada ane lek, ada ne juari, ane dorinan mekelidan nundudin tundun timpal (ada yang malu, ada yang tidak. Paling belakang bisa tidak dapat bagian),” terang Ngarsa.

Setelah semua dipersiapkan, semua makanan didoakan, setelah itu semua orang duduk dan makan bersama dengan tertib.

Seiring berjalannya waktu, ada juga transmigran yang menikah dengan orang lokal.

“Astungkara sudah lebih dari 40 tahun kehadiran kami di sini tidak ada sama sekali gesekan dengan masyarakat lokal. Semoga selamanya akan begitu,” harap Ngarsa. (*)

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini