TRIBUNNEWS.COM, BANDA ACEH - Dalam adat Aceh, bersalin ditangani dokter pria dianggap tabu, karena bersifat prinsipil dan mempunyai rujukan yang jelas, yakni hukum agama.
Pun demikian, jika sudah darurat hal itu dibolehkan atas nama kemanusiaan.
Hal itu disampaikan Ketua Majelis Adat Aceh (MAA), H Badruzzaman Ismail SH MHum menanggapi laporan eksklusif Serambi (Tribunnews.com network) yang dipublikasi Senin (28/9/2015) berjudul Risihnya Ibu ke Dokter Pria.
“Adat ngon hukom lagee zat ngon sifeut (adat dan hukum seperti zat dengan sifat). Jadi, tak bisa dipisahkan. Namun, dalam proses persalinan maka keselamatan manusia tetap menjadi hal utama dan harus diprioritaskan,” ujarnya.
Ia memaparkan bahwa jauh sebelum teknologi kedokteran berkembang, masyarakat Aceh sudah mengenal kearifan lokal.
Keberadaan dukun kampung yang notabene-nya perempuan bisa bersanding serasi dengan laki-laki yang mengaturkan doa-doa tertentu yang dilafalkan untuk memudahkan proses persalinan.
Tapi tentu saja campur tangan laki-laki tidak dilakukan dalam bilik bersalin, karena itu menyangkut aurat ibu hamil.
Pun begitu, Badruzzaman mendukung perempuan Aceh untuk menempuh pendidikan setinggi-tingginya.
Konon lagi untuk melanjutkan pendidikan sebagai dokter spesialis kandungan dan kebidanan (obstetri dan ginekologi).
Di mata Badruzzaman, hal ini akan memberikan nilai tambah karena notabene pasien yang dihadapi juga adalah kaum perempuan.
Akan berbeda halnya jika ditangani oleh dokter pria, sekalipun ia spesialis kandungan dan kebidanan.
“Saya rasa budaya kita juga bisa menerima perempuan yang siap bekerja 24 jam jika itu bisa bermanfaat bagi sesama. Yang penting adalah value (nilai)-nya karena yang harus diutamakan adalah keselamatan manusia,” ujar Badruzzaman.
Hal itu dikemukakan Badruzzaman mengingat jumlah perempuan yang menjadi dokter spesialis kandungan dan kebidanan di Aceh masih minim dibanding pria yang menjadi spesialis di bidang ini.
Malah, menurut Ketua Perhimpunan Obstetri dan Ginekologi Indonesia (POGI) Wilayah Aceh, Dr dr Andalas SpOG, saat ini ada kabupaten di Aceh yang tak punya satu pun dokter spesialis kandungan.
Padahal, minimnya dokter kandungan, berkorelasi positif dengan angka kematian ibu dan anak yang saat ini di Aceh justru masih tinggi.