TRIBUNNEWS.COM, GIANYAR - Dialog masa kanak-kanak putra-putri Bali penuh keceriaan disajikan secara apik dalam pagelaran Festival Saraswati Internasional, di Museum Arma Ubud, Gianyar, Jumat (27/11/2015) malam.
Cerita yang disajikan dalam bentuk dolanan dan tari Puja Saraswati oleh sanggar seni Citra Usadha itu membahas boleh tidaknya belajar saat rahina saniscara umanis watugunung.
Dolanan yang dipersembahkan oleh sanggar pimpinan Nyoman Catra itu seakan menjadi refleksi terhadap masih ada juga masyarakat Bali yang terjebak dengan dikotomi klasik perayaan Saraswati.
Festival internasional dalam rangka memperingati hari Saraswati ini dikatakan adalah mementum perayaan bahasa Bali sebagai bagian dari keberagaman bahasa Indonesia.
Pada saat yang bersamaan, juga dirayakan keberagamaan bahasa-bahasa yang ada di dunia.
Representasinya adalah pembacaan puisi tentang puja puji terhadap Sang Hyang Aji Saraswati secara live streaming dengan menggunakan delapan bahasa di benua Amerika, Eropa dan Asia.
Puisi Saraswati juga ditranslate dalam delapan bahasa.
"Selama ini belum pernah terselenggara festival Saraswati. Jadi sekarang adalah moment yang tepat untuk menyambut turunnya ilmu pengetahuan dengan bahasa Bali," papar ketua Badan Pembina Bahasa, Aksara dan Sastra Bali Provinsi Bali, I Gde Nala Antara.
Bahasa Bali baginya adalah bahasa sekala dan nisakala.
Secara sekala dia katakan, bahasa Bali menjadi sarana komunikasi masyarakat sehari-hari. Di sisi lain, bahasa Bali juga dipakai untuk kegiatan spiritual.
"Untuk kegitan relijius di pura, sangat janggal kalau kita menggunakan bahasa Indonesia. Apalagai di Bali ada sesontengan. Ini yang tidak bisa digantikan dengan bahasa latin," ucapnya. (Tribun Bali)