Laporan Wartawan Tribun Jateng, Puthut Dwi Putranto
TRIBUNNEWS.COM, DEMAK - Warga Desa Jragung, Kecamatan Karangawen, Kabupaten Demak, Jawa Tengah mulai diresahkan dengan munculnya ribuan ulat jati di perkampungannya, Jumat (10/12/2015).
Meski ulat ini tidak menyebabkan tubuh gatal, namun keberadaannya cukup mengganggu aktivitas masyarakat.
Ya.. ulat jati yang jumlahnya diperkirakan mencapai ribuan tersebut perlahan mulai memasuki satu per satu rumah warga.
Selain bergelantungan di pohon hingga merayap di jalan desa, ulat-ulat berwarna hitam ini juga telah memasuki tempat tidur dan dapur warga.
Warga setempat mengaku jijik dengan keberadaan ulat jati ini. Terlebih, anak-anak sekolah yang ketakutan saat melintas di jalan.
Mereka berlarian dan menjerit ketika berangkat maupun pulang sekolah.
Bocah-bocah kecil ini pun terpaksa membawa tongkat untuk menghindari ulat-ulat yang telah bergelantungan di pohon.
" Saya takut mas. jijik sama ulat. Hiiiiiiiii, " kata seorang siswa SDN Jragung, Anisa (8) kepada Tribun.
Seorang warga Desa Jragung, Makromah (45), menuturkan, ulat yang datang dari hutan jati dekat kampungnya itu secara bertahap telah memasuki rumah warga.
Di rumah Makromah sendiri, ulat-ulat ini telah menempel di dinding dan atap rumah.
Makromah mengaku kualahan menghadapi keberadaan ulat jati di rumahnya.
" Saya basmi pakai minyak tanah juga nggak habis, malah semakin bertambah jumlahnya. Risih mas, susah tidur karena kalau tidak hati-hati, ulat menggerayangi tubuh, " kata Makromah.
Warga lainnya yang memiliki bayi maupun balita bahkan terpaksa harus mengungsi lantaran mengkhawatirkan kondisi anaknya.
"Saya ungsikan anak saya di tempat saudara di Mranggen. Ulatnya banyak banget yang masuk rumah. Kasihan anak-anak saya yang ketakutan. Mau makan susah karena ada ulat dimana-mana, " tutur Sri Wahyuningsih (35).
Sementara Kepala Desa Jragung, Edy Susanto, menjelaskan, kondisi geografis desanya dikelilingi oleh kawasan hutan jati.
Saat musim penghujan, ulat jati mulai bermunculan hingga memasuki pemukiman.
Sejatinya, sambung Edy, warga desanya sudah terbiasa dengan kondisi ini.
Hanya saja, populasi ulat jati saat ini terhitung lebih banyak ketimbang tahun-tahun sebelumnya.
" Mungkin ini akibat kemarau yang berkepanjangan. Ulat ini sebenarnya tidak berbahaya dan tidak gatal. Jumlahnya kali ini mencapai ribuan tak seperti tahun lalu. Warga biasanya menunggu hingga jadi kepompong, setelah itu diburu untuk dimasak. Ini jadi makanan favorit warga. Dioseng biasanya, " kata Edy. (*)