News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Sinta yang Tidak Patah Arang, Kini Karyanya Dihargai Tinggi

Editor: Gusti Sawabi
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Sinta (24) gadis peyandang tuna rungu dan wicara asal Desa Pancuranmas, Kecamatan Secang, Kabupaten Magelang, yang pandai membatik.

Tribunnews.com, Magelang - Bagi Sinta Dewi Ranti (24), menggambar dan membatik menjadi aktivitas yang begitu menyenangkan. Dengan melukis, dia dapat mengungkapkan seluruh perasaannya di tengah kondisinya yang menyandang tuna rungu dan wicara.

Kondisi itu tidak membuat Sinta patah arang. Sinta justru mampu menunjukkan karya-karya batiknya yang mempunyai nilai seni dan nilai jual yang tinggi. Bahkan perempuan berparas ayu itu sudah menjadikan batik sumber mata pencahariannya.

Saat ditemui di kediamannya di Dusun Sawahan, Desa Pancuranmas, Kecamatan Secang Kabupaten Magelang, Jumat (22/1/2016), Sinta sedang asyik membatik kain pesanan salah seorang pelanggannya. Di sudut ruangan, terdapat beberapa peralatan membatik seperti canting dan kain-kain batik yang sudah jadi dan setengah jadi.

"Dari kecil Sinta memang suka menggambar. Dia mulai membatik sendiri saat keluar dari pekerjaannya di perusahaan batik di pada pertengahan 2014 lalu," kata sang Ibu, Dwi Suswanti (51).

Dwi menceritakan, anak sulung empat bersaudara itu adalah lulusan Sekolah Luar Biasa (SLB) di Kecamatan Secang, Kabupaten Magelang, 2011 silam. Selepas dari SLB, dia mulai membatik sendiri.

"Saat itu sudah membatik di kain, lalu suka bikin suvenir batik, gantungan kunci dan lainnya. Tapi waktu itu belum dijual," kisah Dwi.

Suatu ketika, Sinta bekerja ikut pengusaha batik di Kota Magelang, namun penghasilan yang diterima Sinta tidak mencukupi untuk kebutuhannya sehari-hari.

Bahkan karya batiknya sering dihargai mahal oleh konsumen, tetapi uang yang diterimanya kecil. Sinta pun memutuskan untuk keluar dari perusahaan tersebut.

“Sinta sangat kecewa, apalagi setelah tahu kalau hasil batik karyanya dijual dengan harga sangat mahal sampai jutaan rupiah per potong, tapi Sinta hanya dibayar sekedarnya bahkan pernah tidak dibayar," ungkap Dwi.

Tekun

Dwi mengatakan, Sinta kemudian menjajal membatik sendiri di rumah dengan modal yang sangat kecil. Karena Sinta tekun, dia tidak menyerah ketika batik karyanya rusak atau tidak laku.

Sampai akhirnya, hasil karya perempuan kelahiran 27 Januari 1992 itu disukai konsumen meski sampai saat ini, batik karyanya masih sebatas dititipkan kepada para pengusaha batik karena di rumah belum dikenal orang.

Batik buatan Sinta cukup khas dengan variasi motif truntum jagat, sulur-sulur, ketela, kupu-kupu, cempaka, sampai bunga crubung. Mayoritas bermotif alam.

“Harganya bervariatif, mulai dari ratusan ribu hingga satu jutaan rupiah, tergantung dari motif, jenis bahan, dan lamanya pengerjaan,“ ujar istri dari Suranto itu.

Ayah Sinta, Suranto, menambahkan, meski sudah memiliki konsumen namun Sinta masih terkendala modal. Sebab banyak konsumen yang memesan tapi akhirnya tertunda karena tidak bisa membeli bahan-bahan membatik.

"Kalau mau buat batik baru, dia menunggu batik lainnya laku," kata Suranto.(Kontributor Magelang, Ika Fitriana)

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini