SUNGAI Karang Mumus dulu menjadi tempat primadona bagi masyarakat Kota Samarinda, khususnya anak-anak bermain, berenang dan mencari ikan.
Airnya yang jernih saat itu membuat warga kerasan berlama-lama berenang. Begitu lebarnya sungai, kapal-kapal pengangkut barang kerap hilir mudik menyusuri Sungai Karang Mumus.
Sekarang kondisi Sungai Karang Mumus sudah jauh berbeda. Tak ada lagi ruang bagi anak-anak untuk bermain dan berenang.
Yang ada hanya bau tak sedap menusuk hidung saat angin bertiup dan warna air kehitaman terlihat jelas, ketika kita berdiri di pinggir Sungai Karang Mumus.
Saat air surut akan tampak lumpur bercampur aneka sampah, mulai plastik, kayu, botol, dus bekas, kantong plastik dan karung hingga pembalut wanita.
Sungai Karang Mumus jika diperhatikan tak ubahnya pasar. Semua yang dikonsumsi dan dipakai warga Samarinda setelah tak dibutuhkan dilempar ke Sungai Karang Mumus.
Soal kebiasaan membuang sampah ini, seorang warga yang tinggal tak jauh dari Sungai Karang Mumus mengungkapkan, hampir setiap hari dia melihat orang membuang sampah ke sungai.
Menurut Ayung, demikian dia akrab dipanggil, biasa warga menyapu sampah lagu dibuang ke got.
Sementara kalau membersihkan dalam rumah dan dapur, sampahnya dibungkus dan dilempar ke sungai.
Siapa sangka, Sungai Karang Mumus sepanjang lebih dari 30 kilometer dulunya pernah bersih dan asri. Airnya bening bahkan sempat dikonsumsi masyarakat yang tinggal di sepanjang sungai.
Sebelum tahun 1985-an menurut Bahtiar, Ketua RT 7 Samarinda Kota, kondisi Sungai Karang Mumus sangat jauh berbeda dengan kondisi sekarang.
Rumah-rumah penduduk di kedua bantaran sungai belum sepadat saat ini. Selain belum ada rumah, bantaran sungai juga belum seluruhnya diturap.
Tanpa rumah-rumah di sepanjang bantaran, Sungai Karang Mumus lebih luas dan dalam. Banyak di titik dekat Jembatan Kehewanan saat ini, menjadi lokasi pilihan anak-anak untuk berenang.
Permainan favorit kala itu menyelam paling lama di bawah rakit yang melintas di atas sungai. Selain bermain, Sungai Karang Mumus bagi masyarakat juga menjadi tempat mencari ikan.
Begitu lebarnya sungai, kapal-kapal pengangkut barang kerap hilir mudik menyusuri Sungai Karang Mumus.
"Dulu paling suka berlama-lama menyelam di bawah rakit. Kalau kita menyelam sekitar 1 meter, buka mata di air cahaya dari atas kelihatan, tembus. Kami bisa cari arah di bawah air," kata Bahtiar.
Setelah era 1985, pembangunan dan jumlah penduduk Samarinda mulai tumbuh. Paling mencolok kata dia, sungai mulai kotor sejak aktivitas perdagangan di Pasar Segiri mulai tinggi.
"Kotornya sungai sejak membesarnya Pasar Segiri," katanya.
Bahtiar juga mengaku aktif mendukung Gerakan Memungut Sehelai Sampah dari Sungai Karang Mumus.
Secara pribadi dia tidak punya kekuasaan seperti pemerintah mendesak warga tidak membuang sampah sembarangan.
Yang bisa dilakukan, hanya memberikan contoh menjaga kebersihan sungai dan berharap bisa diikuti masyarakat melalui gerakan memungut sampah ini.
"Kita kan nggak punya kekuasaan. Jadi cuma bisa memberi contoh," katanya. (doan pardede)