TRIBUNNEWS.COM, BANDA ACEH - Usaha Abdullah bin Zakaria (36) bersama tiga rekannya untuk mendapatkan keringanan hukuman melalui upaya banding, kandas.
Majelis Hakim Pengadilan Tinggi/Tipikor Banda Aceh menolak memori banding yang diajukan para terdakwa sabu-sabu 78,1 kg itu.
Majelis hakim menguatkan putusan pengadilan tingkat pertama (Pengadilan Banda Aceh) yang sebelumnya mengganjar keempat terdakwa dengan pidana mati.
Putusan majelis hakim yang menolak permohonan banding Abdullah Zakaria cs itu dibacakan hari Senin (22/2) siang dalam sidang yang terbuka untuk umum oleh ketua majelis hakim, didampingi dua hakim anggota, dan dibantu seorang panitera pengganti pada Pengadilan Tinggi/Tipikor Banda Aceh.
Pembacaan putusan tersebut tanpa dihadiri jaksa penuntut umum, terdakwa, maupun penasihat hukumnya.
“Intinya, majelis hakim pengadilan tinggi menguatkan putusan Pengadilan Negeri Banda Aceh atas nama terdakwa Abdullah bin Zakaria, Hasan Basri bin Mabeni, Samsul Bahri bin Sulaeman, dan Hamdani bin Razali tertanggal 21 Desember 2015 yang dimintakan banding oleh penasihat hukum para terdakwa,” kata Panitera merangkap Kepala Humas Pengadilan Tinggi (PT)/Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Banda Aceh, Said Salem SH MH kepada Serambi di Banda Aceh, Rabu (24/2) sore.
Selain itu, dalam putusannya majelis hakim menetapkan bahwa keempat terdakwa tetap ditahan dan dibebankan kewajiban membayar biaya perkara dalam kedua tingkat pengadilan di tingkat banding masing-masing Rp 5.000.
Sebagaimana diberitakan terdahulu, pada 21 Desember 2015 majelis hakim PN Banda Aceh menjatuhkan pidana mati terhadap keempat terdakwa.
Kemudian penasihat hukum para terdakwa mengajukan banding.
Menurut Said Salem, setelah permohonan banding keempat terdakwa diterima PT Banda Aceh, maka pada 15 Januari 2016 Ketua PT menetapkan komposisi majelis hakim untuk memeriksa perkara tersebut. Majelis terdiri atas satu orang ketua, dua anggota.
Said Salem memberi catatan bahwa sepanjang sejarah persidangan kasus narkotika di Aceh, baru kali inilah ada terdakwa yang dihukum dengan pidana mati dan Majelis Hakim PT Banda Aceh akhirnya menguatkan putusan PN Banda Aceh itu.
“Semoga ini menjadi iktibar bagi yang lain. Tidak ada alasan pemaaf terhadap kesalahan terdakwa, mengingat perbuatan mereka dapat merusak sumber daya manusia, terutama generasi muda bangsa,” ulas Said Salem. (dik)