Laporan Wartawan Tribun Pontianak, Nassarudin
TRIBUNNEWS.COM, PONTIANAK - Ketua Bidang Hubungan Antar Lembaga dan Layanan Informasi Komisi Yudisial, Farid Wajdi mengatakan, persoalan hubungan asmara hakim hingga saat ini mendominasi.
Menurutnya, hal itu terjadi di antaranya karena saat bertugas keluar daerah asalnya, hakim tak membawa serta keluarganya.
"Dalam beberapa kasus memang perlu ada pembinaan, pembenahan di kalangan hakim terkait itu. Saat ke daerah tidak membawa keluarga berpeluang melakukan sesuatu yang tak pantas," kata katanya di sela-sela Konsolidasi Jejaring di Hotel Santika, Jl Diponegoro Pontianak, Kamis (17/3/2016).
Bahkan, perilaku yang masuk dalam pelanggaran etis itu tidak didominasi laki-laki saja, perempuan juga.
Di samping itu juga ada persoalan antara hakim dan istri yang sebenarnya biasa terjadi bagi masyarakat biasa tapi menjadi perhatian jika itu terjadi pada hakim.
Untuk tahun 2015 lalu, ada tujuh pengaduan terkait hubungan asmara baik dengan pegawai PN maupun lainnya.
Satu di antaranya terbukti terjadi perselingkungan yang dilakukan hakim.
Sidang Majelis Kehormatan Hakim pun sudah memberikan putusan pemberhentian dengan hak pensiun.
"Hakim manusia biasa walau punya predikat wakil tuhan. Secara psikologis, secara kejiwaan kita tidak mengatakan itu pantas dilakukan. Tapi peluang hubungan asmara yang tak sejenis itu menjadi ranah yang potensial dugaan perilaku murni," kata Juru Bicara KY ini.
Menurutnya, ada hakim yang melakukan KDRT. Tidak memberikan nafkah anak. Ada juga yang meninggalkan keluarga.
"Dan 2016 ini sepertinya tren masalah keluarga tetap tinggi. Untuk pelapor, dari semua pihak. Ada istri, ada rekan sejawat hakim. Ada anonim tapi data lengkap. Foto lengkap, cctv ada. Tapi dia tak mau disebutkan pelapor. Rekaman ada dari ronde pertama sampai ronde terakhir. Itulah kemudian yang menjadi bagian konsen kita," katanya.
Peraih Excellent Thesis Award dari Centre for Islamic Development Management Studies Universiti Sains Malaysia ini mengatakan, karena persoalan hakim tak hanya selesai pada interaksi sosial di pengadilan. Karena mesti jadi panutan, maka diluar institusional, perilaku sosialnya juga menjadi perhatian.
Selain persoalan asmara, pengaduan tertinggi yang diterima Komisi Yudisial sepanjang 2015 adalah dugaan berperilaku tidak profesional.
Dari total 64 pengaduan, 31 di antaranya mengenai hal tersebut.
"Di antara ketidakprofesionalan itu, ada saksi yang tidak pernah menyatakan sesuatu tapi ada dalam pertimbangan putusan. Atau ada laporan ke KY diduga putusan bunyinya seperti itu karena ada sesuatu," kata Farid, di Hotel Santika Pontianak, Kamis (17/3).
Selain itu ada juga hakim yang dilaporkan karena mendasarkan putusan pada UU yang sudah dicabut.
Kemudian ada hakim mencantumkan pernyataan saksi yg saksi tak pernah ngomong.
Juga mencantumkan keterangan saksi dalam pertimbangan namun hal itu bertolak belakang dari yang disampaikan dalam persidangan.
"Itu bagian tidak profesionalnya. Termasuk hakim berlaku diskriminatif. Tidak memberikan kesempatan sama kepada para pihak untuk mendapat akses berperkara," katanya.
Alumnus S3 Universitas Sains Malaysia ini menegaskan, Komisi Yudisial merupakan penegak etik. Bukan penegak hukum.
Mengadu ke Komisi Yudisial bukan berarti mengubah putusan.
"Karena kita lebih fokus soal perilakunya memang. Walaupun perilaku menyimpang itu muncul dalam bentuk putusan," katanya.