Laporan Wartawan Tribun Bali, I Made Ardhiangga
TRIBUNNEWS.COM, DENPASAR - Rencana proyek reklamasi Teluk Benoa ditolak puluhan ribu masyarakat Bali. Minggu lalu mereka turun dan memadati bundaran Tol Tuban, Badung.
Anggota DPD RI asal Bali, Gede Pasek Suardika, menilai sudah sepatunya masyarakat menolak rencana reklamasi Teluk Benoa karena tidak sesuai dengan Ajeg Bali (keluhuran budaya Bali yang dijaga terus-menerus).
Apalagi, kawasan yang menjadi target reklamasi merupakan tempat suci yang dijaga masyarakat Bali hingga saat ini. Tercatat ada 27 Desa Pakraman/Adat di Bali menolak reklamasi.
"Seperti kawasan Niti Mandala, Art Center, juga pernah ada penolakan. Tapi, malah berdampak baik pada ajeg Bali. Karena hal-hal yang sifatnya komunitas tidak ditolak, beda halnya jika itu kapitalistik. Harus ditolak," ujar Pasek kepada Tribun Bali, Jumat (25/3/2016).
Pasek berujar, jika rencana reklamasi mengembalikan lagi tanah Pulau Pudut yang sedianya delapan hektare, tidak akan masalah. Namun, jika harus diluaskan menjadi 700 hektare maka akan sangat berbahaya.
"Kalau sedianya adalah konservasi, ya cuma delapan Hektare saja. Tapi, perluasan itu hingga 700 hektare maka sangat berbahaya," imbuh mantan politikus Demokrat ini.
Pasek juga mengapresiasi warga Bali yang menolak reklamasi Teluk Benoa lewat apresiasi seni, misalnya lewat medium poster, seperti dilakukan sejumlah seniman desain grafis.
Terbukti, ada 50 orang yang mengikuti ajang lomba poster menolak reklamasi seperti digelar Pasek, sekaligus diskusi 'Seniman Dalam Sejarah Perlawanan'.
Koordinator ForBALI, Wayan 'Gendo' Suardana, mengakui inisiatif bagus dari pihak terkait dengan menyambungkan kelompok ekstraparlemen dan upaya-upaya pada intraparlemen. Gerakan ini menunjukkan rakyat punya andil terhadap kritik sosial.
"Harus kita ketahui, apabila gerakan itu bukan hanya datang ke satu acara demonstrasi, lalu berpidato dan wawancara media. Tapi, harus menggunakan kewenangan dengan baik atau menyelenggarakan satu model parsipatif (kesenian)," kata Gendo.
Menurut dia, seni itu adalah alat perjuangan sejak zaman kolonial. Sehingga tercipta lagu Indonesia Raya, Maju Tak Gentar, dan kesenian perlawanan lainnya.
"Namun, di masa Orde Baru semua itu dihabisi. Dan seni itu memang harus seperti itu, tidak jauh dari persoalan realitas sosial di masyarakat," ungkap dia.
Teman-teman seniman yang tergabung dalam ForBALI dan semua elemen masyarakat memiliki inisiatif menyuarakan kritik kepada pemegang kebijakan dan investor lewat jalur kesenian dan tidak anarkis.
"Itulah yang kami lakukan di gerakan ForBALI, yaitu menggunakan gerakan kesenian," tukas Gendo.