Laporan Wartawan Surya, Monica Felicitas
TRIBUNNEWS.COM, SURABAYA - "Becak bu, Ampel, murah saja bu."
Entah sudah berapa kali Muh (57) menawarkan orang-orang yang lalu lalang di sekitar Jembatan Merah Plaza Surabaya untuk naik becaknya, tapi dijawab mereka dengan gelengan kepala.
Matahari sebentar lagi tergelincir, panasnya tidak terlalu menyengat, tapi Nuh lebih memilih duduk di atas jok becaknya sambil menyeka keringat yang mengucur dari pori-pori kulitnya. Topi yang ia pakai ditanggalkannya.
Sejak matahari masih menghangatkan badan, Muh dan puluhan teman-temannya sudah pasang kuda-kuda siap mengantar penumpang ke tempat tujuan mereka. Tapi jok becak mereka kalah menarik dari ojek pangkalan atau ojek berbasis aplikasi, taksi atau bus.
"Sudah jam lima sore, enggak ada satu pun penumpang yang naik becakku. Sudah dari kemarin sepi begini," Muh berkeluh kepada perempuan penjual rujak di sebelahnya, Selasa (19/4/2016).
Sejak lima tahun lalu, penarik becak sudah semakin tak dilirik oleh pengguna transportasi umum, tersisih oleh bus dan taksi, dan lima tahun kemudian berseliweran pengemudi ojek pangkalan dan ojek berbasis aplikasi yang lebih cepat mengantar penumpang ke tempat tujuan.
Jejak kejayaan Muh sebagai penarik becak berbekas di permukaan kulitnya yang legam. Ia mengenang 24 tahun lalu becak masih primadona penumpang untuk wara-wiri ke sana kemari, selain sepeda pancal dan bus yang masih bisa dihitung oleh jari.
Ayah tiga anak yang semuanya masih sekolah itu memeras keringat dan tenaga dengan mengayuh becak memang tak sebanding dengan uang yang didapat.
Teknologi benar-benar mengalahkan tenaga mereka sekuat apapun itu.
"Pendapatan orang kecil kayak saya ini berapa toh, paling ya Rp 20 sampai Rp 30 ribu saja. Syukur alhamdulillah kalau ada, biasanya blas enggak ada penumpang, ya pulang dengan dompet kosong," kata Muh, tak lupa tangannya mengisyaratkan orang untuk menaiki becaknya.
Tak selamanya Muh ingin terus mengayuh becak. Ia berharap dapat menjadi pegawai tetap di sebuah instansi, tapi semua itu hanya impian karena terbentur pendidikan formalnya tak tinggi dan usianya yang sudah menua.
Sepertinya mengayuh becak sudah mendarah daging bagi Muh, muncul dibenaknya sambil berandai becak bakal terus berjaya jika ojek pangkalan, taksi atau ojek online tak ada.
Apa boleh buat, Muh lupa zaman sudah berubah, begitu juga Surabaya. Teknologi beranak pinak dan pada saatnya ojek online dan transportasi yang ada sekarang bisa jadi bakal senasib dengan becak yang dikayuh Muh dan teman-temannya.
Muh yang sudah 24 tahun menarik becak masih memegang prinsip, uang harus dicari apapun caranya.
"Namanya juga usaha mencari duit. Mungkin, sekarang becak mulai dilupakan," kata dia sambil melempar senyum.