News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Hukuman Mati

Kesaksian Pemandi Jenazah Terpidana Mati: Tenda Rubuh dan Dua Kali Listrik Padam

Editor: Y Gustaman
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Suasana penjagaan di Dermaga Wijaya Pura, yang menjadi akses ke Pulau Nusakambangan, Cilacap, Jawa Tengah, Rabu (28/07/2016).

Laporan Wartawan Tribunnews, A Prianggoro

TRIBUNNEWS.COM, CILACAP - Proses eksekusi mati terhadap terpidana mati yang berlangsung pada weton malam Jumat Kliwon di Nusakambangan, Cilacap, Jumat (29/7/2016) dini hari berlangsung mencekam.

Hal itu diungkapkan oleh Suhendro Putro (62), koordinator pelaksana yang memandikan tiga jenazah dari total empat jenazah terpidana mati yang dieksekusi di Pulau Nusakambangan.

"Detik-detik penembakan berlangsung situasinya sangat mencekam. Jarak saya berada saat itu hanya sekitar 20 meter dari lokasi penembakan terpidana mati," kata Suhendro kepada Tribunnews.com, Jumat (29/7/2016).

Ia bersama timnya berjumlah 17 orang tiba di Pelabuhan Nusakambangan, Kamis (28/9/2016) pukul 23.00 WIB. Rencananya mereka akan memandikan 14 jenazah terpidana mati. Lazimnya, sebelum eksekusi selesai, Suhendro transit di Pelabuhan Sodong, Pulau Nusakambangan.

"Tetapi karena tenda-tenda untuk keluarga dan pemandi jenazah ambruk, kami dipindahkan ke area dekat penembakan terpidana. Hujan deras dan angin kencang telah meratakan tenda-tenda itu," ujar Suhendro.

Menurut Suhendro, saat itu proses eksekusi belum berlangsung. Ratusan orang yang terdiri atas kerabat terpidana, tim dokter, pemandi jenazah, dan aparat berkumpul di dekat lokasi penembakan.

"Dua kali listrik mati. Pertama saat sebelum eksekusi dan kedua setelah eksekusi. Mati listriknya masing-masing limabelas menit. Kalau mati listrik limabelas saat di rumah mungkin rasanya biasa," cerita Suhendro.

Menurut dia, saat listrik padam rasanya lama sekali dan membuat suasana lain dari biasanya. Apalagi di Pulau Nusakambangan memang sudah dikenal seram.

"Rasanya sangat mencekam, apalagi orang-orang sekitar mengkaitkan dengan kepercayaan Malam Jumat Kliwon," Suhendro membeberkan pengalamannya dalam ekseksui kali ini yang berbeda dari sebelumnya.

Menjelang detik-detik penembakan, Jumat (29/7/2016) sekitar pukul 00.45 WIB, hujan semakin deras dan suara petir terdengar bersahut-sahutan. .

"Bunyi tembakan terdengar di antara suara petir. Hanya saja suara tembakan lebih pelan, saya bisa mendengarnya secara jelas," kata anggota jemaat Gereja Kristen Jawa Cilacap yang jadi pengurus kematian di lingkungan gerejanya tersebut.

Butuh 60 Menit

Sebelum eksekusi digelar, Suhendro sudah mendapat jatah memandikan 10 jenazah dari total 14 terpidana yang dieksekusi mati, meski dalam eksekusi Jumat dini hari baru empat  saja.

Kesepuluh terpidana mati yang harus dimandikan Suhendro adalah tujuh terpidana beragama Kristen dan tiga terpidana beragama Katolik.

"Yang memandikan jenazah dari Kristen 11 orang dan Katolik ada enam orang," ungkap Suhendro.

Suhendro menceritakan waktu untuk memandikan satu jenazah sekitar 60 menit. "Setelah ditembak, harus dipastikan dulu sudah meninggal atau belum lalu dijahit lukanya, dimandikan, dipakaikan baju," terang dia.

Pada eksekusi tahap pertama, Suhendro memandikan lima jenazah terpidana dan pada eksekusi mati tahap kedua memandikan tujuh jenazah.

"Grogi sih tidak, tapi memang ini tidak ringan. Saya memandikan jenazah sudah sejak tahun 1992," terang dia.

Pada eksekusi mati tahap pertama dan kedua, Suhendro bahkan menyediakan perlengkapan kematian untuk jenazah terpidana mati. Di antaranya peti, salib, dan lainnya.

"Tetapi untuk eksekusi tahap ketiga kali ini saya tidak diminta menyediakan perlengkapan kematian. Semua perlengkapan kematian jenazah terpidana sudah disediakan pihak kejaksaan dan kepolisian," kata dia.

Jelang detik-detik eksekusi tak memengaruhi aktivitas masyarakat di sekitar Pulau Nusakambangan, Cilacap. Warga setempat, Kendar (34) bertutur, masyarakat sudah terbiasa dengan pelaksanaan eksekusi mati.

"Ini (pelaksanaan eksekusi mati) bukan yang pertama kali. Masyarakat tidak takut, meski kali ini pelaksanaannya pada malam Jumat Kliwon yang biasanya dikaitkan dengan sesuatu bersifat mistis," kata Kendar saat ditemui di rumahnya di Kampung Wijaya Pura, Kecamatan Cilacap Selatan, Cilacap.

Rumah Kendar hanya berjarak beberapa meter dari Dermaga Wijaya Pura, akses utama menuju Pulau Nusakambangan. Kendar menyebut kawasan dermaga dan Pulau Nusakambangan dikenal angker.

"Saya beberapa kali melihat mahluk gaib,” cetusnya.

"Pernah melihat kuntilanak, kemudian sosok sosok pria yang jelas bukan manusia. Tetapi saya dan masyarakat di sini sudah terbiasa dan tidak takut," terang lelaki yang juga punya warung makan di dekat Dermaga Wijaya Pura.

Menurut Kendar, masyarakat di kampungnya punya kepercayaan bila ada seseorang meninggal pada malam Jumat Kliwon justru sebagai 'hari baik'.

"Jadi warga percaya kalau ada orang meninggal pada malam Jumat Kliwon malah banyak temannya," ungkap Kendar.

Pendapat serupa juga diungkapkan Sukesih (54), warga Desa Tambakreja, Kecamatan Cilacap Selatan. Wanita yang sudah memiliki lima cucu itu sudah terbiasa dengan 'keangkeran' Pulau Nusakambangan.

"Tidak ada yang perlu ditakuti. Setelah eksekusi mati, jenazah dibawa ke luar (dari Nusakambangan), dan masyarakat beraktivitas seperti biasa," terang Sukesih.

Hujan deras diiringi petir

Sementara itu, Kamis (28/7) jelang tengah malam, hujan deras turun di sekitar Pulau Nusakambangan, Kabupaten Cilacap.

Warga setempat yakin bila setiap akan ada proses eksekusi mati biasanya turun hujan. "Padahal sudah beberapa hari belakangan ini di sini tidak hujan," kata Kendar (34).

Hujan deras disertai suara halilintar membuat masyarakat yang semula berkumpul di depan Dermaga Wijaya Pura pun membubarkan diri.

"Dulu saat eksekusi pertama dan kedua juga hujan deras," tambah Kendar.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini