Laporan Wartawan Tribun Pontianak, Anesh Viduka
TRIBUNNEWS.COM, PONTIANAK - Dapur Teater Pontianak bekerjasama dengan Sekberkesda kembali menggelar pementasan teater yang mengangkat cerita tentang dampak dari pengrusakan alam, dalam lakon yang berjudul Nciak Mun Sangun.
Sebelumnya,Nciak Mun Sangun pernah dipentaskan Dapur Teater Pontianak pada acara yang digelar oleh Simpul Komunitas Teater Jakarta Selatan (Sintesa),di GOR Bulungan, Jakarta Selatan, beberapa waktu lalu.
Cerita yang ditulis oleh Beben ini akan dipentaskan kembali pada 15-17 September 2016, di Taman Budaya, Jl A Yani, Pontianak, Kalbar, pukul 20.00 WIB, dengan tiket masuk Rp 25 ribu untuk kategori pelajar dan mahasiswa serta 150 ribu untuk kategori umum.
Lakon yang di sutradarai Yosep Oediloe Oendoen ini menceritakan tentang jeritan para roh penunggu alam karena pengrusakan alam yang kian menjadi oleh manusia.
Ketika manusia mulai kehilangan kesadaran dengan merusak alam, roh-roh itu pun menggeliat dalam amarah, lalu terdengarlah jeritan roh-roh penguasa alam.
Dalam lakon ini menampilkan sesosok pria bernama Apak Pagu. Orang yang tidak bertanggung jawab dan selalu silau dengan harta. Mengeksploitasi hutan demi mendapatkan kekayaan pribadi.
ketika ia sudah berusaha untuk hidup dengan memenuhi segala macam tuntutan alam, namun kesejahteraan tak kunjung didapatnya,sehingga ia beranggapan bahwa alam tidak bisa memberikan keuntungan baginya, oleh karena itu ia mengeksploitasi alam sesuka hati demi mencari kekayaan pribadi,Yang pada akhirnya dia menjadi korban dari perbuatannya sendiri.
“Nciak Mun Sangun Itu bahasa Dayak yang artinya Jeritan Roh Penunggu Alam. ketika terjadinya pengrusakan pada alam, itu sebenarnya bukan hanya manusia yang terkena dampak negatif nya tapi juga roh-roh ini merasa dirugikan. Makanya Ketika manusia sudah tidak bisa di peringatkan lagi, akhirnya mereka (roh penunggu alam) memohon kepada jubata (Tuhan), untuk memberikan hukuman kepada orang yang selalu merusak alam," kata Beben disela-sela latihan, Minggu (11/9/2016) sore.
Menurut Beben, cerita ini banyak terjadi didaerah-daerah hulu kalimantan barat. ketika masyarakat yang merasa alamnya tereksploitasi , dirusak oleh pabrik-pabrik dan lahan perkebunan, mereka menuntut, karena takut akan mendapatkan suatu bencana akibat dari pengrusakan alam.(*)