"Saya enggak pernah mencari, mereka datang sendiri. Kebanyakan minta kerja. Saya mana bisa cari mbak-mbak sampai luar kota," ia menerangkan.
Semua anak buah Sunarti bukan dari Surabaya, kebanyakan para pendatang dari Lamongan, Banyuwangi, dan Malang. Para wanita penghibur ini berstatus janda yang terhimpit biaya ekonomi.
"Saya enggak mau kalau mereka bersuami, makanya saya tanya dulu. Kebanyakan umurnya 25 sampai 35 tahun," kata Sunarti.
Sempat Bingung
Sambil menerawang, Sunarti menceritakan rasa takutnya saat kawasan lokalisasi akan ditutup Pemkot Surabaya pada 2014 silam.
Ia bukan main kebingungan karena tidak mempunyai uang cukup untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Sesekali ia terdiam sembari berpikir mengenang masa lalunya penuh harta.
"Takut enggak bisa makan, anak saya mau dikasih makan apa, suami cuma kerja satpam waktu itu. Jujur saya takut kelaparan," katanya lirih.
Gang Dolly dan kawasan lokalisasi lainnya yang telah berdiri sejak 1970 memang memberikan penghasilan ekonomi bagi warga sekitar. Tak heran Sunarti seakan takut kehilangan.
"Waktu ditutup saya beberapa hari kebingungan mau kerja apa. Bingung mau bagaimana, dan alhamdulillah memang benar rezeki itu sudah ada jalannya masing-masing," kata dia.
Sekarang ibu satu anak ini bisa tersenyum lebar. Senyum Sunarti membuktikan ia dan keluarganya mampu hidup tanpa membuka bisnis esek-esek.
Sejak ditutup, ia memutuskan ikut kursus membatik yang disediakan Pemkot Surabaya untuk para muncikari dan PSK.
"Dari situ saya bisa kembangkan seperti ini. Saya ikut pameran di mana-mana, dan bangga bisa keluar dari bisnis itu," kata dia bangga.
Keputusan Pemkot Surabaya menutup lokalisasi yang banyak didatangi wisatawan kala itu kini baru disadari Sunarti yang kini tengah membangun warung gado-gado.
"Masih renovasi rumah, sambil nunggu selesai saya tetap membatik. Dengan membatik, saya bisa menghasilkan uang yang halal tidak seperti dulu, uangnya panas," tawa Sunarti lepas.