Faktor ekonomi menjadi penyebabnya.
Kala itu, Siti tidak menyetujui suaminya ikut bergabung padepokan karena harus mengeluarkan uang tak sedikit hanya untuk membeli mahar.
Selain itu, sering mengabaikan kepentingan keluarga.
"Uang habis enggak jelas. Di situ jadi sering ribut," ungkap dia.
Karena kesal, dia mengaku, menjual perhiasan berupa batu cincin, jam rolex, dan sejumlah uang kertas berupa uang ringgit dan dolar Singapura.
Barang-barang tersebut merupakan mahar dari pedepokan tersebut.
"Sebelum dijual, perhiasan itu sempet saya cek ternyata palsu. Tapi masih laku juga dijual," tuturnya.
Sementara itu, orangtua Suminta, Tyarman (76) mengaku, sejak anaknya ikut bergabung dengan Padepokan Dimas Kanjeng, harta bendanya habis terkuras.
Bahkan, diam-diam Suminta memakai uang perusahaan di tempatnya bekerja hanya untuk membeli mahar dan menggandakan uang itu.
"Oleh perusahaannya ketahuan, akhirnya sertifikat tanah diambil perusahaan buat jaminan. Kalau dihitung-hitung ada puluhan juta," papar Tyarman.
Dia mengaku, sudah sering mengingatkan Suminta agar tidak mempercayai aliran tersebut.
Apalagi sudah jelas, sejak Suminta bergabung, kehidupan rumah tangganya makin kacau.
"Sering ribut, anak istri ditelantarin. Sampai istrinya lahir pun dia tidak pulang," ungkapnya.
Hingga kini, meski Dimas Kanjeng Taat Pribadi sudah ditangkap polisi karena dugaan penipuan, Suminta tetap bersikukuh memilih bertahan tinggal di padepokan itu di tenda.
"Rencananya saya sama dari pihak kelurahan akan jemput dia pulang," pungkas Tyarman.
KOMPAS.com/Kontributor Bogor, Ramdhan Triyadi Bempah