Laporan Wartawan Tribun Pontianak, Tito Ramadhani
TRIBUNNEWS.COM, PONTIANAK - Suasana aksi Bela Rakyat 121 yang digelar ratusan aktivis yang tergabung dalam Aliansi Mahasiswa Kalimantan Barat dan Solmadapar sempat diwarnai kericuhan antara aktivis Solmadapar dengan personel Polri yang bertugas, di Bundaran Monumen Sebelas Digulis, Jalan Jend A Yani, Pontianak, Kamis (12/1/2017) sore.
Kericuhan bermula, saat personel dari Polsek Pontianak Selatan dan Polresta Pontianak, memberikan ruang orasi di tepi jalan, namun aktivis Solmadapar menginginkan menyampaikan orasi hingga menutupi jalan raya tepat di samping Bundaran Monumen Sebelas Digulis.
Para aktivis yang ngotot menggelar aksinya dihadang personel Polri. Saling dorong pun tak terelakkan, hingga para aktivis dapat ditenangkan dan diberikan pemahaman, agar tak mengganggu jalur pengguna lalulintas di kawasan tersebut.
Kebijakan Pemerintah
Humas Solmadapar, M Nurli mengungkapkan, aksi ini sebagai bentuk keprihatinan pihaknya terhadap sejumlah kebijakan pemerintah.
Baru saja Rakyat Indonesia merayakan pergantian tahun 2016 ke tahun 2017, dan kini menghadapi babak baru di tahun 2017.
Pemerintah pusat memberikan kado istimewa dengan mengeluarkan tiga kebijakan, yakni kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) Non Subsidi, Tarif Dasar Listri (TDL) dan tarif pengurusan kendaraan.
"Satu tanda tanya besar ketika pemerintah yang katanya pro rakyat ini, malah mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang sangat memberatkan rakyat. Dimana kenaikan harga BBM Non Subsidi ini sangat drastis sekali," ungkapnya di sela-sela aksi.
Berkaca dengan pengalaman pada tahun-tahun sebelumnya, ketika harga BBM baik Subsidi maupun Non Subsidi naik, akan berdampak juga dengan kenaikan barang-barang kebutuhan pokok.
"Jelas ini akan menjadi beban berat bagi masyarakat, mengingat perekonomian yang masih dikatakan rendah," ujarnya.
Penetapan harga dasar baru BBm jenis umum yang mulai berlaku pada 5 Januari 2017 pukul 00.00 WIB, dengan kenaikan sebesar Rp 300, dan harga yang berbeda-beda di setiap wilayah, melalui SK Direktur Pemasaran PT Pertamina Nomor Kpts-002/ F00000/ 2017-S3 dan 003/ F00000/ 2017-S3 pada tanggal 4 Januari 2017.
"Hal ini juga bertentangan dengan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku, karena dalam Perpres No 191 tahun 2014 tentang Penyediaan, Pendistribusian dan Harga Jual Eceran Bahan Bakar Minyak, pada Pasal 14 dijelaskan bahwa harga dasar dan harga eceran BBM, dalam hal ini meliputi BBM Tertentu, BBM Khusus Penugasan, dan BBM Umum (Non Subsidi) ditetapkan oleh Menteri ESDM," paparnya.
Namun yang terjadi saat ini adalah penetapan harga dilakukan oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yakni PT Pertamina melalui Direktur Pemasaran PT Pertamina.
"Meski yang ditetapkan adalah harga BBM Non Subsidi, tindakan tersebut tetap bertentangan dengan Pasal 14 Perpres No 191 tahun 2014," tegasnya.
Lanjutnya, dalam putusan Mahkamah Konstitusi (MK) dengan nomer perkara 002/ PUU-I/ 2003 telah ditentukan bahwa ketentuan harga BBM diserahkan kepada mekanisme pasar.
"Atau persaingan usaha yang sehat dan wajar, dalam Pasal 28 ayat (2) dan (3) dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945. Jadi apa yang terjadi saat ini, selain bertentangan dengan Perpres No 191 tahun 2014, juga bertentangan dengan putusan MK yang menyatakan bahwa praktik penyerahan harga BBM kepada pasar tidak sesuai dengan UUD 1945," jelas Nurli
Selain itu, ditambah lagi kenaikan TDL pada pelanggan dengan daya 900 VA, yang biasanya digunakan rakyat kecil dari harga Rp 605 per kWh menjadi Rp 1.467,28 per kWh.
"Melalui tiga tahap, yang dimulai pada 1 Januari 2017 sebesar Rp 791 per kWh, disusul kenaikan pada 1 Maret 2017 menjadi 1.034 per kWh, dan 1 Mei 2017 menjadi 1.352 per kWh, serta terakhir pada 1 Juli 2017 nanti menjadi Rp 1.467,28 per kWh," paparnya.
Kenaikan tarif listrik ini akan membuat rakyat kecil semakin menjerit. Kondisi ini, semakin ditambah lagi dengan dinaikannya tarif pengurusan kendaraan bermotor yang menjadi tiga kali lipat dari tarif sebelumnya.
"Dimana acuan yang digunakan adalah PP No 60 tahun 2016 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) Polri, yang meliputi STNK, BPKB dan TNKB. Padahal sebelumnya PP No 60 tahun 2016 ini menuai banyak permasalahan, karena sangat cacat mekanisme disebabkan tidak adanya naskah akademisnya dan juga tidak ada penjaringan aspirasi dari masyarakat," terang Nurli.
Sehingga masyarakat tidak dilibatkan bahkan tidak mengetahui adanya PP No 60 tahun 2016 ini.
"Untuk itu, Solmadapar menuntut menolak kenaikan BBM Non Subsidi, menolak PP No 60 tahun 2016 yang cacat mekanisme serta menuntut agar ditinjau kembali kenaikan Tarif Dasar Listrik 900 VA," katanya.