"Tidak apa-apa bu, semuanya masih belajar, ayo sama-sama. Tidak apa, meski sudah sepuh jangan malu," ajak Harris sabar, ketika muridnya, ibu Asiyah merengek malas menulis karena malu dan tak bisa membaca.
Harris mengarti, ibu-ibu rumah tangga itu punya sejumlah kesibukan yang tak bisa ditinggalkan. Sehingga waktu belajar pun tak dibuat lama, hanya sekitar 1 jam saja.
"Kami senang dengan kedatanga npak Harris di sini. Memang di tempat kami, masih ada sebagian warga yang buta huruf atau tak bisa baca tulis. Jadi warga yang belum bisa itu bisa sekalian belajar sama anak-anak yang belum sekolah. Anak-anak kan senang lihat badut," kata Dini Ariyanti (33), salah satu orangtua yang ikut serta belajar bersama.
Punya Banyak Kostum
Alumnus Jurusan Pendidikan Bahasa Indonesia Universitas Surabaya (Unesa) ini mengaku tak hanya punya satu kostum.
Lagi-lagi supaya muridnya tidak bosan, Harris mengoleksi 10 kostum. Beberapa di antaranya adalah Hanoman dan Gatot Kaca.
Mengajar dengan menggunakan kostum unik, Guru SDN IV Bubutan Surabaya sekaligus guru SDK Pringadi Surabaya ini bukan tidak pernah mendapatkan penolakan dari warga.
Namun karena kegigihannya, ia terus melakukan pendekatan. Membuat masyarakat paham pentingnya bisa membaca dan menulis.
"Penolakan pasti ada, tapi tergantung bagaimana cara kita melakukan pendekatan. Awalnya ide ini karena saya merasa prihatin dengan kondisi masyarakat di sekitar. Mereka seolah-olah terpinggirkan, karena pendidikan yang semakin mahal," kisahnya prihatin.
Harris mengaku akan terus mengunjungi perkampungan kumuh, secara rutin seminggu sekali hingga dua kali dengan membawa buku-buku cerita.
Dirinya berharap, dengan memakai kostum saat mengajar, muridnya semakin senang dan semangat belajar. (Pipit Maulidiya)