TRIBUNNEWS.COM - Sebanyak 11.047 orang guru dan non-guru berstatus honorer yang bekerja di SMA dan SMK di wilayah Sumatera Utara resah.
Mereka khawatir akan kelangsungan hidup karena gaji yang selama ini didapatkan tidak jelas adanya.
Sebab penghasilan yang sudah sangat kecil itu pun tidak disediakan Pemprov Sumatera Utara.
Ketua Forum Guru Honorer Kota Medan Fahrul Lubis menuturkan banyak tenaga honorer yang bekerja di SMA dan SMK mengeluhkan keadaan yang dihadapi mereka.
Namun tidak banyak yang berani bersuara lantang ke publik menyampaikan permasalahannya.
"Resah, cuma yang mau show-up. Nggak ada yang berani. Mereka cuma mau ngadu-ngadu sama kami. Siapa lah yang nggak resah, kalau terancam nggak digaji," ujar Fahrul Lubis saat berbincang dengan Tribun Medan di kantor Dinas Pendidikan Kota Medan, pekan lalu.
Irwansyah, seorang honorer yang bekerja di SMA 12 Medan, menuturkan sudah bekerja bertahun-tahun di sekolah tersebut.
Selama itu, ia bersama rekan-rekan sesama honorer, beban pekerjaan tidaklah jauh berbeda daripada guru berstatus aparat sipil negara (ASN)/pegawai negeri sipil (PNS).
"Kerjaan saya merangkap kalau di sekolah malah. Sebagai teknisi dan juga sebagai pengajar," ujarnya.
"Selama ini gaji kami dari Komite Sekolah. Tetapi sekarang sudah ada surat edaran ke sekolah kami yang melarang adanya pungutan uang komite. Gaji kami juga tidak ditampung dalam APBD. Kalau begini nanti dari manalah gaji kami," ujar Irwansyah.
Guru Honorer di SMAN 1 Kota Medan Donny Febri Silaban menuturkan upah yang dia terima masih pas-pasan.
Untuk memenuhi kebutuhan hidup, ia harus mencari pekerjaan sampingan, yaitu dengan mengajar di tempat bimbingan belajar.
"Sekarang aja pas-pasan gajinya. Apalagi kalau enggak bergaji nanti. Kami kan punya kebutuhan. Saya minta pemerintah supaya mencari solusilah atas permasalahan ini, jangan dibiarkan kami seperti ini," ujarnya.
Berdasarkan data Dinas Pendidikan Sumatera Utara, terdapat 11.047 honorer yang bekerja di SMA dan SMK, rincian pegawai honorer ini yaitu 8.130 tenaga pengajar dan 2.917 pegawai honorer non-pengajar.
Berlakunya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2O14 tentang Pemerintahan Daerah, pengelolaan pendidikan menengah (Sekolah Menengah Kejuruan dan Sekolah Menegah Atas) yang semula menjadi urusan pemerintah daerah kabupaten/kota dialihkan menjadi urusan pemerintah daerah provinsi.
Pasca-beralihnya Sekolah Menengah Atas(SMA) dan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) tersebut, membuat para honorer yang bekerja di pendidikan menengah di Provinsi Sumatera Utara merasa khawatir karena mereka tidak menjadi bagian pegawai yang dialihkan ke Pemerintah Provinsi Sumatera Utara.
Dengan demikian anggaran gaji honorer SMK dan SMA juga tidak ditampung dalam APBD Sumut 2017.
Para honorer ini juga semakin khawatir pascaadanya Peraturan Menteri Pendidikan (Peremendikbud) Nomor 75 Tahun 2016 yang melarang komite sekolah memungut uang komite seperti yang sudah terjadi selama ini.
Keresahan para guru honorer terkait kebijakan Gubernur Sumatera Utara Tengku Erry menolak memberikan solusi bagi honorer yang saat ini bekerja di SMA/SMK atau sederajat yang disebar di Sumatera Utara.
"Tidak ada guru honorer terombang-ambing, tidak ada. Guru honorer itu dikukuhkan oleh daerah (kabupaten/kota), maka kabupaten/kota yang bertangung jawab. Kalau ada SK gubernur yang mengangkat, gubernur yang bertanggung jawab. Ini tidak ada," ujar Erry.
Gaji Rp 200 Ribu
Kepala Ombudsman Perwakilan Sumatera Utara Abyadi Siregar mengatakan mengimbau pemerintah agar jangan berlaku kejam kepada guru honorer di SMA dan SMK, karena honorer tersebut tidak bisa dihilangkan peranananya dalam mendidik siswa.
"Faktanya mereka mengajar. Jumlah mereka lebih banyak dari guru ASN, masa ditiadakan peranannya. Padahal beban kerjanya banyak, jangan lebih jahat pemerintah sama masyarakatnya. Apalagi saat ini para guru honorer ini masih banyak yang bergaji Rp 200 ribu. Masa mau dihilangkan gajinya," ujarnya.
Menurut pengamatan Ombudsman saat ini guru honorer lebih banyak berkontribusi terhadap kelangsungan proses mengajar-mengajar di sekolah-sekolah, terutama di daerah yang tertinggal.
"Peranan honorer dalam pendidikan tidak bisa ditiadakan begitu saja. Tugasnya tidak jauh dari PNS," ujarnya.
Menurut Abyadi, pemerintah tidak bisa tinggal diam atas permasalahan ini, karena tanpa solusi maka yang dikorbankan adalah anak didik.
"Gubernur harus mengambil solusi. Nggak boleh diam saja," ujarnya. (Tribun Medan/Royandi H)