TRIBUNNEWS.COM, KUPANG - Korban dalam kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) diwajibkan membayar uang adat Saen Me ketika melaporkan kasus itu ke Ketua RT. Bahkan jika terbukti bersalah dalam penyelesaian adat, maka pelaku juga diwajibkan membawar uang pengganti Saen Me.
Demikian salah satu aturan 'adat' yang berlaku di wilayah kecamatan Amarasi barat, Kabupaten Kupang dalam penanganan kasus KDRT.
Hal ini diungkapkan oleh dua paralegal LBH APIK NTT di wilayah itu, Lodia Magdalena Muni Rasi dan Mus Moses Medah, saat dikunjungi kordinator Oxfam, cecilia dan Juliana Ndolu serta Direktur LBH Apik NTT, Ansi D Rihi Dara, SH dan pengacara LBH APIK NTT, Ester Day, SH, Kamis (23/2/2017) siang di Kecamatan Amarasi Barat.
Lodia mencontohkan, jika korban perempuan melaporkan kasus KDRT yang dialmainya kepada Ketua RT setempat, maka korban harus membayar uang Saen Me sebesar Rp 25.000 hingga Rp 100.000. Besarnya uag saen me ini tergantung berat ringannya kasus dimaksud.
"Uang saen me itu berarti dia buka masalah itu, jadi harus bayar dulu Rp 25.000 - Rp 100.000 ke RT, tergantung kasusnya," kata Lodia dibenarkan Mus.
Setelah kasus dibuka, maka RT akan mengundang keluarga atau pihak adat guna membahas dan menyelesaikan kasus itu.
"saat itu akan diceritakan kronologisnya. Saat beratnya dimana, nanti akan didenda lagi oleh adat. Dan akan ada makan bersama. Saen Me itu digantikan, maksimal Rp 100.000. Jika suami yang memulul istri jelas suami yang saen me," kata Lodia.
Denda Saen Me ini, demikian Mus, hanya berlaku untuk kasus KDRT yang ringan. Jika kasus perkosaan atau KDRT yang berat, maka tidak diselesaikan secara adat namun diupayakan ke proses hukum.
Mus mengatakan, wilayah kerja delapan Paralegal di wilayah Kecamatan Amarasi Barat itu ada tujuh desa dan satu kelurahan.
Paralegal sudah dikenal oleh tokoh masyarakat, pemerintah. bahkan untuk kasus KDRT, polisi biasanya bekerjasama dengan paralegal, memanggil paralegal. (vel)