TRIBUNNEWS.COM, GIANYAR – Gerakan Anti Radikalisme (GRAK) Bali menyerahkan draf hasil dialog kebangsaan yang menekankan penolakan sistem khilafah kepada Staf Khusus Presiden Bidang Komunikasi, Anak Agung Ari Dwipayana di Puri Kawan Ubud, Gianyar, Senin (29/5).
Koordinator GRAK, Nyoman Mardika mengatakan, ada tujuh poin deklarasi yang tercantum dalam draf, yang dititipkan pada Gung Dwipayana untuk diserahkan kepada Presiden RI Joko Widodo.
Di antaranya, elemen masyarakat Bali siap memperkokoh nilai Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika guna menjaga keutuhan NKRI.
Mengembangkan solidaritas antarsesama anak bangsa yang berbeda suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).
Masyarakat Bali juga siap mengembangkan pemahaman keagamaan yang inklusif, toleran dan saling menghargai, khususnya melalui lembaga pendidikan.
Meminta semua pihak untuk tidak menggunakan isu SARA dalam agenda politik.
“Poinnya kami rakyat Indonesia di Bali, siap mendukung pemerintah menumpas gerakan intoleran. Menolak gagasan Khilafah dan kehidupan berbangsa dan bernegara, serta mendukung penghapusan pasal-pasal penodaan agama yang menimbulkan perpecahan dan berbangsa,” ujar Mardika.
Seorang inisiator GRAK, Bambang Wiyono Bom mengatakan, selain menyerahkan draf tersebut, pihaknya juga akan mendesak DPRD se-Bali, gubernur dan bupati/walikota di Bali agar tidak menyepelekan gerakan radikalisme.
Sudah saatnya pejabat pemerintahan mengawasi secara eksklusif sistem pendidikan di daerahnya. Sebab berdasarkan survei, sistem pendidikan menjadi tempat embrio radikalisme itu menyebar.
Staf Khusus Presiden Bidang Komunikasi, AA Ari Dwipayana akan segera menyampai aspirasi masyarakat Bali ini.
Kata dia, saat ini Presiden sangat membutuhkan peran serta masyarakat dalam mencegah radikalisme.
“Pencegahan radikalisme sulit dilakukan karena kendala hukum dan HAM. Karena itu saat ini Presiden sedang mengupayakan revisi UU Terorisme, supaya pencegahan bisa dilakukan. Dan, peran serta masyarakat sangat dibutuhkan,” tegasnya. (*)