Laporan Wartawan Tribun Jateng, Khoirul Muzakki
TRIBUNNEWS.COM, BANJARNEGARA - Sebuah rumah seluas sekitar 6x8 meter di Desa Merden, Purwanegara, Kabupaten Banjarnegara, berada agak jauh dari pemukiman.
Rumah berdinding kayu dan bambu itu dibangun menempel pada dinding gedung penggilingan padi milik pemerintah desa setempat.
Tidak ada perabot istimewa di dalam rumah. Hanya ada sebuah kamar tidur, dapur, serta ruang tamu dengan kursi sofa tua.
Beberapa lubang jendela hanya ditutup kain tanpa kaca. Atap asbes membuat suasana rumah semakin gerah jika panas menyengat di luar.
Di gubug sederhana itu Alana (7), sang hafiz atau penghapal cilik Alquran bersama orang tua dan kakaknya tinggal.
Baca: Kisah Menyentuh Hafiz Cilik Tak Mampu Berjalan Bertemu Tukang Parkir Bisu
"Kalau mandi, kami menumpang ke kamar mandi di tempat penggilingan padi," kata Martono, ayah Alana, berbagi cerita kepada Tribun Jateng pada Senin (5/6/2017).
Sisi rumah mereka adalah hamparan sawah. Keluarga itu terbiasa melihat binatang sawah lalu lalang ke dalam rumah melalui celah.
Rumah mungil itu dibangun di atas tanah desa. Kepala Desa setempat berbaik hati mengizinkan tanah desa ditinggali keluarga nelangsa tersebut.
Keluarga Alana mulanya cukup berada. Mereka sebelumnya tinggal di Yogyakarta selama belasan tahun. Martono bekerja sebagai driver di sebuah BUMN dengan gaji di atas rata-rata.
Sedangkan Darsiah punya dua toko kelontong yang cukup berkembang. "Bisa dibilang kami pernah hidup enak, apa-apa kami sudah pernah punya," kata dia.
Keadaan mereka berbalik sejak Martono terkena pemutusan hubungan kerja di perusahaannya. Usaha warung Darsiah lambat laun ikut bangkrut.
Uang pesangon Martono dari perusahaan sebesar Rp 60 juta yang dipakai untuk membuka bengkel ludes lantaran usahanya tak berkembang. Mereka kehabisan modal.