Laporan Wartawan Tribun Bali, I Made Ardhiangga
TRIBUNNEWS.COM, DENPASAR - Sebagai ikon Pulau Bali, Pura Besakih mengandung segala elemen yang menggambarkan kehidupan masyarakat dan spiritualitasnya.
Praktisi pariwisata Tjokorda Oka Artha Ardhana Sukawati atau Cok Ace menyadari di balik itu semua muncul persoalan menyelinap di Besakih. Ia inti masyarakat Bali di mana norma-norma hidup dan terpelihara.
Kini pemanfaatan Pura Besakih melahirkan dilema: satu sisi sebagai kawasan suci tapi di sisi lain menjadi kunjungan pariwisata yang memiliki nilai komersil.
"Pariwisata adalah persoalan mensejahterahkan masyarakat. Namun dengan eksistensi sebagai konsep induk ada beberapa masalah yang terjadi," ucap Cok Ace menanggapi keluhan pemanfaatan Pura Besakih, Selasa (20/6/2017).
Cok Ace melihat komersialisasi Pura Besakih tampak misalnya ada pemaksaan kepada wisatawan-wisatawan seperti meminjam kain selendang untuk masuk ke dalam, layanan ojek dan pembelian canang.
Dikatakan dia, yang mengkhawatirkan ada informasi tidak benar soal canang, yang ketika membeli maka boleh ke dalam Pura Besakih.
"Belum lagi persoalan yang dikeluhkan oleh PHDI dan Pengelola Pura Besakih tentang umat (Hindu Bali) yang sering membuang sampah, duduk sembarangan," ungkap dia.
Persoalan ini, kata Cok Ace, menjadi bahasan antara beberapa pihak untuk kemudian mencari solusinya dengan membuat awig-awig atau perarem mengenai pura besakih.
"Makanya kami adakan pertemuan antara HPI dan Asita serta Badan Promosi Pariwisata. Sehingga bagaimana ke depannya mengenai Pura Besakih ini," jelas Cok Ace.
Persoalan Pura Besakih, sejatinya merupakan persoalan di Bali pada umumnya. Sebab, terjadi pemaksaan pembelian canang serta dagangan itu tidak terjadi hanya di Besakih.
Hal sama terjadi di Kintamani, Kabupaten Bangli. Meski berbeda, karena di Kintamani ialah potensi pariwisatanya adalah Danau Batur dan Geopark. Tapi harus dilihat secara menyeluruh masalah ini.
Cok Ace mengusulkan ke depan di Pura Besakih harus diberlakukan zonasi: publik, tengah dan sakral. Wisatawan yang datang berkunjung dapat diketahui kebutuhannya.
Ketika ingin tahu bagaimana letusan Gunung Agung, maka hanya berada di areal publik. Di sana akan disediakan audio visual Gunung Agung meletus. Kemudian, ada wantilan dan diisi kantin-kantin.
Kawasan tengah memfasilitasi wisatawan yang ingin melihat persiapan upacara-upacara. Namun, ketentuan berbeda lagi, artinya dengan tata aturan yang ada.
Sementara di kawasan suci, maka seorang wisatawan dilarang masuk masuk. Sehingga, nanti akan ditujukan hanya untuk masyarakat atau umat Hindu yang memang akan sembahyang.
"Sehingga busana akan diganti (kalau ke kawasan atau zona sakral)," ucap dia.
Menurut Cok Ace, Pura Besakih sebagai desain Bali secara keseluruhan, menyatu utuh dengan daerah lainnya.
Sehingga, bagaimana nanti satu kabupaten dengan kabupaten lainnya tidak bisa dipisahkan. Seperti Kabupaten Badung dengan tingginya APBD-nya, akan membantu kabupaten lainnya.
"Sehingga penataan holistik (secara menyeluruh) itu bisa dilakukan. Dan corak sebuah kabupaten muncul. Karangasem dengan Besakihnya, dan daerah lain dengan coraknya yang khas," beber Cok Ace.