Ditulis oleh Haris Abdullah (Pengurus RW Bidang Kerohanian di Kubang Beureum, Sekejati, Buah Batu)
Bagian III (Bersambung)
TRIBUNNEWS.COM, BANDUNG - Pak RT dan Farkhan memandangku. Ada isyarat waspada. Terus terang, aku tak bisa sepenuhnya menolak atau menerima semuanya atas pertanyaan yang pemuda itu lontarkan.
Ilmu agamaku tak cukup banyak untuk menjawab semua. Tapi kemudian aku berkata, “Di dunia ini, adakah pemimpin yang sempurna Islamnya sehingga layak kita jadikan panutan? Jika ada, saya sendiri akan mengikutinya. Adakah sistem syariat yang persis sempurna seperti jaman Rasulullah dulu? Jika ada, saya pun akan berpegang teguh padanya. Jika ada, siapa pemimpinnya dan dari negara mana?”
“Jangan beri saya pertanyaan, Ustadz, beri saya jawaban!” tegasnya.
Farkhan bangkit, tapi kucegah. Pak RT tampak semakin pucat, aroma ketegangan memuncak. Kucoba tetap tenang.
Baca: Ujang Basmut, Begitu Orang Memanggil Pemilik Bom Panci
Baca: Pemilik Bom Panci Dulu Anggota Geng Motor, Tobat Setelah Gabung Dua Ormas Islam
Bukan wewenangku mengikat pemuda ini dengan tali sebelum polisi datang, kecuali jika pemuda itu menunjukkan reaksi yang diharuskan kita berusaha untuk melumpuhkannya. Tapi sejauh ini, pemuda itu tak menunjukkan reaksi perlawanan fisik.
“Gus, kita adalah pemimpin. Perbaiki diri kita. Perlahan tapi pasti kelak orang-orang terdekat akan baik sebab kebaikan kita. Kezaliman pemimpin adalah buah keburukan akhlak pribadi-pribadi rakyatnya.
“Gus, pemimpin adalah juru selamat, bukan pemandu ke jalan kecelakaan. Bagaimana mungkin pemimpin yang baik membiarkan rakyatnya masuk neraka sebelum mengajak mereka ke surga?”
Mata sayunya memandang jelas padaku. Entah apa yang pemuda itu pikirkan. Aku justru melihatnya sebagai korban “doktrin sesat”, sesat pikir meski pembicaraan dan tata lakunya terbilang tenang dan seolah andal.
“Lalu keluarga, ibu bapak?”
Si pemuda tersenyum. Ia merundukkan kepala dan berkata, “Saya ‘pecah’ dengan keluarga. Kami berseberangan paham,”