Sebab selama ini namanya hanya dipasang di atas kertas, namun tidak pernah terlibat dalam pengelolaan.
Pelaksana di lapangan selama ini diketuai Anshori, dengan bendahara bernama Darmadi.
Namun sepengetahuan Ismanto, lokasi wisata tersebut sudah diserahkan ke pihak Perhutani.
Perkembangan selanjutnya, Ismanto tidak pernah mendapat laporan.
"Saya juga tidak pernah mengetahui keuangannya seperti apa. Sepenuhnya ditangani pengurus yang di lapangan," ungkapnya.
Darmadi saat dihubungi mengatakan, Anshori yang berhak berbicara. Sementara Anshori saat akan dikonfirmasi, tidak ada di rumahnya.
Konflik Pengelolaan
Ternyata bubarnya Bukit Jomblo karena konflik pengelolaan.
Yusmanto, Mantri Hutan yang bertugas di wilayah tersebut mengakui ada konflik yang berujung bubarnya Bukit Jomblo.
Menurut Yusmanto, Perhutani menawarkan Perjanjian Kerja Sama (PKS) untuk mengelola tempat wisata ini. Namun dari pihak pengelola merasa keberatan.
"Sudah enam bulan berjalan, dan saya tawarkan untuk ada PKS. Karena kalau tanpa PKS, justru Perhutani yang akan dipersalahkan," terang Yusmanto.
Lokasi Bukit Jomblo memang berada di area penguasaan Perhutani. Sebenarnya PKS akan sama-sama menguntungkan kedua pihak.
Jika terjadi masalah hukum, semuanya terlindungi. Dengan PKS nantinya diatur harga tiket masuk, biaya parkir serta persentase keuntungan.
"Banyak lokasi wisata di area Perhutani justru berharap lekas mendapatkan PKS. Tapi di sini kami tawarkan PKS, malah memilih bubar," tambah Yusmanto.
Kini Perhutani berencana membangun lokasi wisata ini, bekerja sama dengan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) Pakisrejo.
Sebab Bukit Jomblo telah mendapat penunjukan sebagai wana wisata, seluas 11,3 hektar.
Yumanto yakin, tidak butuh waktu lama untuk membangkitkan Bukit Jomblo. Sebab namanya sudah dikenal secara luas lewat media sosial.
"Banyak daerah lain lama mendapatkan status wana wisata, di sini belum ada satu tahun sudah keluar. Nanti akan dibangun lagi dengan manajemen yang lebih bagus," tandas Yusmanto.