Laporan Wartawan Tribun Jabar, Seli Andina Miranti
TRIBUNJABAR.CO.ID, SUMEDANG - Masih banyak warga yang percaya dengan hal-hal mistis, begitu pula sejumlah warga yang tinggal di sekitar Waduk Jatigede, Kabupaten Sumedang.
Meski secara resmi baru dibuka dua tahun lalu, Waduk Jatigede sudah memiliki banyak cerita mistis yang tersebar di sekitar waduk.
Hal tersebut diungkapkan Ado Kasdi (50), warga Desa Jatibungur, Kecamatan Darmaraja, Kabupaten Sumedang, sekaligus pengemudi perahu di Waduk Jatigede, ketika ditemui Tribun Jabar, Minggu (27/8/2017).
Baca: Dewi Sanca Pamer Tumpukan Uang, Bupati Intan Jaya Kembali Jadi Sorotan
"Banyak cerita di sini mah, bahkan dari awal mulai penggenangan, sudah banyak cerita," ujar Ado Kasdi.
Apa saja cerita mistisnya?
1. Ular Raksasa Berdiam di Dasar Waduk.
"Kata orang pintar yang pernah ke sini (Waduk Jatigede), ada ular raksasa di waduk ini," ujar Ado Kasdi.
Panjang ular tersebut, menurutnya, dikabarkan membentang dari Kecamatan Wado hingga Kecamatan Darmaraja.
Bila dihitung-hitung, dua kecamatan tersebut berjarak sekitar empat kilometer, dengan demikian panjang ular itu pun sekitar empat kilometer.
Terlepas dari benar atau tidaknya mitos tersebut, Waduk Jatigede memang diketahui menjadi rumah bagi banyak ular.
Tak jarang warga menemukan ular-ular mulai dari ular kobra yang beracun hingga sanca yang berukuran tiga meter.
Laga Persipura Jayapura vs Persib Bandung Akan Disiarkan Pukul 18:30 WIB https://t.co/0vlibFPv5N via @tribunjabar
— Tribun Jabar (@tribunjabar) August 28, 2017
2. Legenda Keuyeup Bodas
Keuyeup dalam Bahasa Sunda berarti kepiting, keuyeup bodas berarti kepiting putih.
Warga sekitar Waduk Jatigede sejak dulu, jauh sebelum Jatigede digenangi air, sudah mendengar legenda Keuyeup Bodas tersebut.
"Katanya, di Waduk Jatigede ini ada keuyeup bodas raksasa yang akan menjebol bendungan suatu hari nanti," ujar Ado Kasdi.
Pada kenyataannya, Keuyeup Bodas tersebut sebetulnya bukan hanya merujuk pada hewan legenda melainkan sebuah sesar.
Jatigede dilalui oleh sesar aktif Beribis yang berbentuk seperti kepiting berwarna putih bila dilihat di peta.
Sesar aktif ini sangat rawan dan bila bergerak dapat membuat bendungan rusak dan jebol.
TERPOPULER KEMARIN: Kisah Pilu Korban Waduk Jatigede dan Isu Gebby Vesta Transgender https://t.co/8R3vgCQJY5 via @tribunjabar
— Tribun Jabar (@tribunjabar) August 28, 2017
3. Legenda Ikan Mas Raksasa
"Banyak yang bercerita itu, katanya ketika sedang memancing didatangi ikan sebesar pintu," ujar Ado Kasdi.
Ikan tersebut digambarkan sangat besar hingga sebesar pintu dan berwarna merah menyala.
Para pemancing yang didatangi ikan tersebut biasanya akan mengurungkan niatnya untuk memancing karena ketakutan.(*)
Kisah Pilu di Balik Surutnya Waduk Jatigede: Makam Bermunculan Hingga Kegagalan Warga Jadi Nelayan
Akibat air di waduk Jatigede surut, kedalaman waduk menjadi berkurang delapan hingga sepuluh meter.
Hal tersebut berdampak puing-puing bangunan dari dasar waduk Jatigede yang kembali muncul ke permukaan.
Namun masalahnya, puing-puing bangunan tersebut sangat berbahaya bagi lalu-lalang perahu di waduk tersebut.
Hal tersebut diungkapkan Ado Kasdi (50), warga Desa Jatibungur, Kecamatan Darmaraja, Kabupaten Sumedang, ketika ditemui Tribun Jabar di tepian Waduk Jatigede, Minggu (27/8/2017).
"Berbahaya sekali, kalau kena perahu, perahu bisa karam," ujar Ado Kasdi.
Heboh, Video TKW Indonesia Rekam Percobaan Perkosaan oleh Majikannya https://t.co/YU2pVTUNo2 via @tribunjabar
— Tribun Jabar (@tribunjabar) August 27, 2017
Perahu harus ekstra hati-hati ketika berlayar karena puing-puing bangunan yang kembali muncul ke permukaan bisa saja menggores badan perahu dan menyebabkan kebocoran.
Bukan hanya bocor, resiko lainnya adalah bisa saja perahu tersangkut di puing-puing bangunan sehingga tidak dapat melaju lagi.
"Kalau yang tidak hapal wilayah mah, takut, soalnya banyak sekali puingnya, kami saja ini mengikuti jalan kampung, diingat-ingat," ujat Ado Kasri.
Kiranya, yang paling sulit bagi orang tua adalah beradaptasi dengan keadaan yang baru.
Gaya dan cara hidup lama kadung mendarah daging sehingga tak mudah menerima perubahan mendadak.
Seperti yang terjadi pada Abah Tisna (65), warga eks-desa Cipaku yang kini tinggal di desa Pakualam, kecamatan Darmaraja, Kabupaten Sumedang.
Abah Tisna terpaksa mengubah pola hidup ketika lingkungannya berubah dari yang semula lembah subur Cipaku menjadi genangan waduk Jatigede.
Tapi dia gagal.
Hingga dua tahun berlalu sejak Waduk Jatigede resmi diairi, Abah Tisna belum dapat membiasakan diri.
Hal tersebut diungkapkan Abah Tisna ketika ditemui Tribun Jabar di lahan tani dadakannya di pesisir Waduk Jatigede di desa Pakualam, Kecamatan Darmaraja, Kabupaten Sumedang, Minggu (27/8/2017).
Ketika ditemui Tribun Jabar, Abah Tisna sedang membasahi lahannya menggunakan air waduk.
Sesekali lelaki tua itu berhenti sejenak dari kesibukannya dan duduk-duduk di tegalan basah.
Baca: LIVE STREAMING : Motogp Inggris Tonton di Sini, Berikut Jadwal dan Position Lengkapnya
Tak dipedulikannya celana kain hitam dan kemeja batik coklat lusuh yang dikenakannya kotor akibat tanah tegalan yang masih basah.
Mata lelahnya sesekali menatap jauh ke waduk Jatigede, tatapannya menerawang.
"Sampai sekarang saya belum terbiasa tinggal di pesisir seperti ini," ujar Abah Tisna.
Seumur hidupnya, Abah Tisna bekerja sebagai buruh tani, begitupun orangtuanya dulu, pertanian sudah menjadi bagian dari hidupnya sejak dahulu.
Heboh, Video TKW Indonesia Rekam Percobaan Perkosaan oleh Majikannya https://t.co/YU2pVTUNo2 via @tribunjabar
— Tribun Jabar (@tribunjabar) August 27, 2017
Abah Tisna mengaku tidak bisa beradaptasi ketika lingkungannya berubah menjadi pesisir waduk yang luas.
Dirinya mengaku tidak bisa berenang apalagi menyelam, juga tidak bisa memancing apalagi menggunakan perahu.
"Saya sudah terlalu tua untuk belajar, belajar berenang pun tidak berani, sulit paham," ujar Abah Tisna.
Karena itu kini, Abah Tisna tidak lagi memiliki pekerjaan untuk menghidupi dirinya dan keluarganya.
Uang ganti rugi dari pemerintah hanya cukup untuk membangun rumah alakadarnya, tak cukup bila sekaligus membeli lahan pertanian.
Maka, ketika Waduk Jatigede surut, nalurinya sebagai petani tidak bisa ditahan lagi, Abah Tisna menanami lahan basah tersebut dengan kacang tanah.
"Kalaupun rugi atau air naik sebelum panen, ya tidak apa-apa, ikhlas saja, setidaknya saya sudah ikhtiar," ujarnya.
Abah Tisna berharap ada bantuan bagi orang-orang sepuh sepertinya yang sudah tidak mungkin belajar menjadi nelayan atau menggunakan perahu.
Bertani di lahan surut Waduk Jatigede merupakan hal yang beresiko besar.
Katakan saja, bagaimana bila tanaman baru setengah tumbuh dan air sudah datang kembali? Hasilnya seratus persen rugi.
Namun hal tersebut terpaksa dilakukan oleh Abah Tisna (65), warga Desa Pakualam, Kecamatan Darmaraja, Kabupaten Sumedang.
Ketika bertemu Tribun Jabar di pantai Desa Pakualam Waduk Jatigede, Abah Tisna sedang menyirami lahan taninya agar tanahnya basah.
Lahan garapannya, yang hanya berjarak sekira sepuluh meter dari pekuburan Astanagede tersebut, sebetulnya merupakan lahan rendaman Waduk Jatigede.
Saat ini Waduk Jatigede sedang surut selama musim kemarau, sehingga tanah yang dulunya lahan tani milik Abah Tisna kembali muncul.
"Kalau biasanya mah tanah ini tenggelam, air itu sampai ke pohon jati di sebelah Astanagede," ujar Abah Tisna.
Saat ini, jarak lahan taninya dengan pesisir Waduk Jatigede hanya berjarak sekira dua puluh meter.
Sebetulnya, yang dilakukannya saat ini, yaitu bercocok tanam di lahan surut Waduk Jatigede, merupakan hal yang beresiko.
Tidak ada yang tahu, termasuk Abah Tisna sendiri, berapa lama lagi Waduk Jatigede akan surut.
Seandainya air waduk kembali ke elevasi semula sebelum Abah Tisna memanen hasil jerih payahnya, maka sudah pasti kakek itu tidak akan mendapatkan untung apapun.
"Tapi tidak apa-apa, saya mah pasrah saja kalau memang rugi nanti, ini mah usaha saja," ujar Abah Tisna.
Abah Tisna berharap dirinya dapat memanen hasil taninya sebelum air Waduk Jatigede kembali ke elevasi semula.
Surut, Waduk Jatigede Ditanami Padi
Waduk Jatigede yang surut dimanfaatkan warga Desa Jatibungur, Kecamatan Darmaraja, Kabupaten Sumedang, untuk ditanami padi.
Meskipun belum pasti berapa lama tanah tersebut akan kering, warga nekat mengubahnya menjadi sawah.
Satu di antara alasan masyarakat mengubah pantai Waduk Jatigede menjadi sawah adalah karena faktor ekonomi.
Hal tersebut diungkapkan Ado Kasdi (50), warga Desa Jatibungur, Kecamatan Darmaraja, Kabupaten Sumedang, ketika ditemui Tribun Jabar di pantai Waduk Jatigede, Minggu (27/8/2017).
Gadis ini Dulu Dipaksa Operasi Payudara Usai jadi Juara Kontes Kecantikan, Begini Nasibnya Sekarang https://t.co/aOEIraw8QW via @tribunjabar
— Tribun Jabar (@tribunjabar) August 27, 2017
"Ada yang ditanami pada ada juga yang ditanami tanaman lain, tergantung tanahnya masih berair atau kering sekali," ujar Ado Kasdi.
Menurutnya, alasan utama warga menanam padi di lahan kering Waduk Jatigede adalah karena tuntutan ekonomi.
Warga berharap bisa mendapat pemasukan tambahan dari hasil panen tanaman yang mereka tanam tersebut.
Ini karena banyak warga Orang Terkena Dampak (OTD) Waduk dan Bendungan Jatigede belum memiliki pekerjaan tetap setelah digusur untuk kepentingan Waduk.
"Padahal belum pasti juga mereka akan menikmati panen sawah itu, kan tidak tahu Waduk Jatigede akan surut berapa lama," ujar Ado Kasdi.(*)