Rampino (1982) membandingkan tiga letusan gunung di Indonesia, yaitu Tambora (1815), Krakatau (1883), dan Agung (1963). Disimpulkan, ketiga letusan itu menyebabkan pendinginan suhu Bumi dalam rentang besaran yang hampir sama.
Fenomena menjadi menarik karena jumlah material yang dimuntahkan ketiga gunung tersebut jauh berbeda. Perbandingan volume material letusan Tambora, Krakatau, dan Agung adalah 150:20:1.
Namun, letusan Gunung Agung lebih kaya gas oksida belerang (SO2) dibandingkan letusan Tambora dan Krakatau.
Letusan Gunung Agung pada 1963 yang disebut sangat kaya belerang, membuka pemahaman baru dalam ilmu pengetahuan modern, yaitu pendinginan suhu Bumi akibat letusan gunung api lebih dipengaruhi konsentrasi aerosol sulfat dibandingkan debu silikat.
”Letusan Gunung Agung 1963 terjadi ketika dunia penerbangan belum seramai sekarang. Kalau letusan yang sama terjadi saat ini, dampaknya akan sangat serius terhadap dunia penerbangan,” sebut Indyo Pratomo, geolog dari Museum Geologi-Badan Geologi.
Andi Eka Sakya, mantan Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mengatakan, bagi dunia penerbangan, debu vulknik sangat berbahaya.
Selain dipengaruhi besaran material erupsi, ini juga sangat dipengaruhi pergerakan angin. Karena itu, peranan BMKG penting. ”Krisis Gunung Agung ini sungguh menjadi ujian para stakeholder kebencanaan lintas bidang,” katanya.
Ujian mitigasi
Banyak geolog dan vulkanolog di Indonesia yang khawatir begitu mengetahui Gunung Agung yang telah 54 tahun tertidur ini kembali bangun pada pertengahan September 2017.
Salah satunya adalah ahli gunung api yang juga mantan Kepala Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Gunung Api (PVMBG) Surono.
”Di antara banyak gunung api lain di Indonesia, Gunung Agung merupakan yang paling saya takutkan jika meletus lagi. Ini gunung besar dengan letusan besar, dengan sejarah letusan tahun 1963 yang lebih besar dibandingkan letusan Merapi tahun 2010,” kata Surono.
Tingginya risiko bencana dari letusan Gunung Agung ini, menurut Surono, tidak hanya karena sejarah kekuatan letusannya.
Namun, juga karena banyaknya penduduk yang tinggal di zona bahaya. ”Banyaknya korban letusan 1963 saat itu salah satunya juga karena sebagian warga menolak diungsikan,” katanya.
Kama Kusumadinata, vulkanolog Direktorat Geologi Bandung yang datang ke Bali pada saat periode letusan 1963 melaporkan, arahan pemerintah untuk menjauh dari zona bahaya Gunung Agung dalam radius 5 kilometer dari puncak saat itu diabaikan.