TRIBUNNEWS.COM, KULONPROGO - Cerita romantis menyeruak di antara prosesi bedhol dusun warga Desa Glagah terdampak pembangunan bandara, Sabtu (21/10/2017).
Proyek pembangunan bandara itu telah memaksa warga untuk meninggalkan omah tabon atau rumah warisan turun-temurun dari orangtuanya.
Mereka kemudian dipindahkan ke kompleks hunian relokasi yang berada di wilayah pedukuhan lain.
Romantisme selama proses relokasi itu dirasakan Marjono (89), warga Pedukuhan Bapangan.
Ia dan sang istri, Bandiyah (79), resmi mendiami rumah baru di kompleks relokasi pada 17 September 2017, bertepatan dengan ulang tahun emas perkawinannya.
"Kami menikah pada 1956 dan punya enam anak. Semuanya lahir di rumah tabon warisan simbah buyut saya. Saya pindah rumah baru bertepatan ulang tahun ke-61 perkawinan," kata Marjono yang kini memiliki 14 cucu dan 6 cucu buyut tersebut.
Ia mengakui banyak kenangan pahit dan manis berserak di rumah tabon yang sudah ditinggalinya sejak lahir pada 1928.
Setelah menikah pun ia dan istrinya tak lantas pindah ke tempat lain dan memilih untuk tetap mendiami rumah yang sangat berarti baginya itu.
Rumah itu pula yang selalu jadi tempat berkumpul keluarganya.
Semua anak, menantu, cucu, dan buyutnya yang tinggal di lain wilayah selalu kembali ke rumah itu pada saat hari raya.
Mereka berkumpul bersama merayakan kehangatan sebagai sebuah keluarga.
"Kami berusaha membuat rumah itu selalu nyaman dan menyenangkan untuk ditinggali. Namun, sekarang kami harus memulai hidup baru di rumah baru karena relokasi," kata Marjono yang kini lebih banyak beraktiviitas di atas kursi roda karena faktor kesehatan, pada Tribunjogja.com.
Marjono dan istrinya kini hanya tinggal berdua di rumah baru kompleks relokasi.
Semua anak-anaknya tinggal di lain kecamatan atau merantau ke daerah lain.
Namun begitu, dua anaknya tinggal di Wates dan Pengasih sehingga sesering mungkin bisa menemaninya di rumah baru.(Singgih Wahyu)